Jumat, 18 April 2014

Sesar (Bukan Goyang)

“Kami Memilih Melahirkan secara Normal” demikian artikel yang sempat saya baca judulnya tanpa membaca isinya, saat itu saya sedang mengintai info perihal gebetannya gebetan saya. Ok, saya akan memulai menebak isi artikel itu dengan info-info terbatas yang pernah saya peroleh dari sumber-sumber yang tidak terpercaya.

Bahwa melahirkan secara normal itu memiliki beberapa keistimewaan di banding melahirkan secara sesar. Daya juang anak yang lahir normal itu dapat diandalkan karena ia sudah berjuang mencari jalan keluar dari alat kelamin ibunya. Konon pencarian itu tidak mudah, sehingga hal itu dapat dipahami bahwa si anak telah berjuang hebat bersama ibunya untuk melihat ‘wajah buruk’ dunia. Juga menjadi kebanggan tersendiri bagi sang ibu atas jasa heroiknya itu. Pertaruhan nyawa terjadi di sini.

Saya tidak mengetahui alasan orang yang menganggap buruk sesar. Mereka begitu sinis. Bayi hasil sesar dianggap tidak memiliki daya juang. Benarkah demikian? Saya berdiskusi dengan laki-laki yang menghamili saya soal ini. Hasilnya, kami sepakat bahwa jati diri seseorang tidak ditentukan oleh satu proses peristiwa. Hal itu amat bergantung pada cita-cita hidupnya, akan ia kemanakan roda hidupnya. Bukankah hidup itu dinamis? Statis diperuntukkan bagi orang yang merasa kalah atas tujuan hidupnya. Statis pantas untuk orang yang sudah menonaktifkan akal dan hatinya.

Begini, saya akan membagi kisah kelahiran anak saya. Anak saya lahir secara sesar. Jelang usia 8 bulan di kandungan, kata dokter melalui bantuan Gel dan entah alat apa namanya ia didiagnosis sungsang dan kelilit tali pusat. Mendengarnya saya merasa pilu. Sebab apa? Anak saya tidak pernah menyusahkan saya sama sekali di kandungan. Tiba-tiba mendengar kabar mengerikan. Mengerikan karena saya diwanti-wanti untuk selalu waspada dan berhati-hati menjaga tiap kemungkinan yang terjadi pada anak saya. Sesar adalah sebuah solusi bila janin saya tetap pada kondisi sungsang dan kelilit tali pusat di usianya yang ke tiga puluh delapan minggu.

Sesar adalah sebuah kondisi yang harus saya hadapi. hal itu ditegaskan oleh dokter yang berbeda-beda. Jadi ceritanya saya keliling di beberapa rumah sakit bersalin untuk memastikan saya mampu melahirkan normal atau tidak. Beresiko kalau normal, karena alat kelamin saya belum pernah dilewati bayi. Postur gagah saya dan pinggul lebar saya tidak cukup untuk meyakinkan para dokter itu. Saat harap-harap cemas itu saya kian sayang pada anak saya. Pasti ia tidak lagi bebas berenang di perut saya. Saya kerap mengajaknya bicara untuk berhati-hati dan berjuang dalam keterbatasan kondisinya.

Ok fix. Saya sesar pada tanggal 10 Pebruari 2014, pukul 08.25 anak laki-laki saya menangis untuk pertama kalinya di RSB Sari Asih Ciputat. Anda tahu? Sebelumnya entah berapa jarum yang menusuk kulit saya. Saya lupa berapa, yang membekas di ingatan adalah saat jarum menari-nari melacak pembuluh darah demi memasang infus. Pencarian pembuluh darah saya ini mengerikan sekaligus menraumakan. Bagaimana tidak? Suster-suster ngesot itu kerap salah mendeteksi, saking tipisnya pembuluh darah saya. Sampai-sampai supervisornya langsung yang melacak pembuluh darah saya.


Ok fix. Setelah operasi adalah saat-saat yang memilukan. Di antara peristiwa yang memilukan adalah, saya hilang kendali tidak menyadari untuk pertama kalinya anak saya didekatkan pada saya. Pengaruh obat bius yang menyebabkannya. Kepiluan lainnya, saat-saat obat antibiotic akan disuntikkan ke tangan saya. Ada enam botol antibiotic. Perih dan ngilu luar biasa. Tidak selesai di sana. Miring kanan kiri, hari pertama. Saya pikir nyawa saya tidak bertahan lama setelah melakukan terapi miring kanan itu. Demi menyusui anak, saya lakukan miring kanan itu. Hari kedua, selang pipis dicabut dari V*g*n* (sensor), sakitnya seperti digigit singa. Saatnya saya jalan-jalan ke kamar mandi. Lagi-lagi saya tidak percaya Tuhan masih Mengkuasakan nyawa pada saya. Betapa Hebat Dia, dan amat terpuruk dan lemahnya saya. Tiga hari di RSB Sari Asih adalah saat-saat dekatnya saya dengan Tuhan. Karena saya selalu menyebut-nyebut namaNya.

Keistimewaan lainnya adalah anak yang lahir normal memiliki antibody yang Ok. Sehat sakit hanya Tuhan yang mampu memberi dan mencabutnya. Nabi Ibrahim yang mengajarkan pemahaman demikian, saya setuju-setuju saja sih. Terlepas dari perdebatan sebab akibat. Namun, penting bagi saya pribadi untuk memiliki mental menyerahkan segala sesuatunya, termasuk kesehatan dan kesakitan pada Tuhan. Bukankah wilayah manusia sebatas upaya saja? Setelah itu penyerahan total pada Tuhan wajib pakai banget hukumnya.


Demikian sekelumit kisah saya. Mohon sambungan doanya dari pembaca ya. Semoga anak saya sehat lahir batin selalu dan saya beserta suami mampu mendidik amanah Tuhan dengan baik, menjadi anak yang salih, cerdas dan memiliki semangat yang membara untuk belajar ilmu Allah. Kami segenap keluarga mengucapkan terima kasih atas bantuan doa, dukungan, kado dan waktu luang yang telah dihadiahkan pada kami. Allahu Akbar!!!

Salam hangat dari adik Nawa, anak saya.

Rabu, 19 Maret 2014

Profesi Ibu

Menjabat sebagai ibu rupanya tidaklah mudah. Terlebih bagi mereka yang belum pernah bersentuhan dgn bayi sebelumnya. Aku bagian dr mereka yg belum pernah itu.

Membutuhkan adaptasi yg luar biasa utk melakoni peran ibu ini. Adaptasi pd jadual tidur bayi yg mana siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Belum lagi bila si bayi rewel menangis sepanjang hari. Mengganti popok (bisa jadi dlm satu jam bayi mengompol tiga hingga lima kali) juga menjadi bahan stres tersendiri. Menyusui apalagi, perlu ketangguhan tersendiri. Puting lecet boleh jadi menghalangi program ASI eksklusif yg digadang-gadang sbg imun bayi.

Allah... Allah... Kalau bukan karena pertolonganNya, melalui kesabaran dan ibadah, rasanya aku menginginkan pensiun dini dr peran ibu ini. Bila jengah dan jengkel karena kecapekan mengasuh bayi menghampiri, semoga ciumanku di kening bayiku mampu mencairkan kebekuan hati dan menggantinya dgn kelembutan. Laa haula wa laa quwwata illa bi Allahi al-'Aziim...

Kamis, 16 Januari 2014

Sungsang? Yes.

Harusnya aku sekarang meneliti kevaliditasan tiga ekor hadis, untuk kemudian kuketik sebagai tugas UAS yang wajib diserahkan besok siang. Tapi aku lebih memilih menulis curhatan ini, sebagai media penenang untuk batinku dan mengobrol dengan anakku, di perutku. Semoga saat kuceritakan nanti dosenku memaklumi keadaan batinku malam ini, apa yang melatarbelakangi tidak selesainya tugas UASku.

Jelang maghrib tadi, aku konsultasi kandunganku, usianya udah 34 pekan. RSB Permata Sarana Husada menjadi pilihanku atas rekomendasi dari kawan suamiku yang puas dgn layanan di RSB itu. Di hadapanku ada perempuan berwajah tegar, tenang dan nampak sekali sifat mengayominya. Perempuan itu berbalut jilbab bergo hijau, dr. Mela Amalia Dewi. Sp. OG. Entah perawat, entah bidan yang mengoleskan gel ke perutku, untuk diperiksa apa kabarnya anakku.

“Air ketubannya nyaris kurang ya. Perbanyak air minum. Kepalanya sungsang, kelilit tali pusar. Sering-sering sujud dan mengajak ngobrol bayi ya.” Dr. Amalia menyampaikan pengamatannya, pandangannya tetap pada monitor gambar anakku.

“Dok, saya nggak perlu cemas berlebihan kan mendengar kabar sungsangnya anak saya?” Balasku, menunjukkan mental ketakutan dan kekhawatiranku. Ya, begitulah psikologi berbicara. Bila ada yang mengatakan kalau dia baik-baik saja, berarti dia belajar untuk membuat dirinya baik. Bila sering up date status di jejaring sosial menuliskan semangat, artinya ia sedang menggalaukan suatu hal atau ia sedang membangun semangat. Belum tentu ia semangat. Sebagaimana aku, kalimat “Nggak perlu cemas” berarti aku sedang cemas.

“Kenapa kamu takut? Kita masih memiliki waktu dua pekan ke depan. Kamu sering-sering ajak bayimu bicara dan perbanyak sujud ya.” Ucap dr. Amalia, kami beradu pandang. Dilanjutkan nasehatnya supaya aku memperbanyak makan buah dlsb. Aku merasa senang konsultasi dgnnya, ia memanggil namaku, tanpa ibu atau nyonya. Kupikir itu sebuah keakraban. Dr. Amalia masih relatif muda, kira-kira usianya 40 tahun ke bawah atau 35 tahun ke atas. Lalu aku menanyakan bila jelang persalinan kepala anakku masih sungsang, apa masih mampu melahirkan secara normal. Ia tidak menyarankan, karena anak pertama.

Di RSB itu emosiku masih stabil. Aku masih menyempatkan senyum dengan kasir, pegawai Farmasi dan tukang parkir. Vablu (Vario biru) kuarahkan ke salah satu Apotik murah di Pamulang, lupa nama apotiknya. Memesan obat, masih senyum pada petugasnya. Selesai, bayar dan galau. Duduk sebentar di kursi, terlintas memberi kabar suami. Tadinya ingin menceritakan pas di rumah, supaya ia tidak khawatir. BBM terkirim padanya, lalu aku menuju parkir melangkah pulang. Detik itu galauku menjadi-jadi. Tak tentu arah mana yang hendak kutuju. Pulang, ke yayasan teman lalu mengajaknya menghadiri kuliah umum dan menonton film Haji karya guruku, om Bagus, atau pergi ke perpustakaan untuk merampungkan tugas UAS yg belum selesai.

Pergi ke yayasan teman dan mengajaknya kuliah umum menjadi pilihanku. Aku ingin didoakan om Bagus yang insya Allah bersama istrinya, Sabtu 18 Januari 2014 akan ke tanah para nabi untuk melaksanakan ibadah umrah. Pikiranku masih kalut, tiba-tiba sudah seperempat jam di jalan datang rintik hujan. Kuputar Vablu dan aku mengurungkan keinginanku. Aku mampir ke sate Madura, memesan lalu pulang. Detik itu aku berdoa semoga aku ingat untuk selalu mengajak ngobrol anakku, apapun kegiatanku. “Nak, kita makan sate ya. Semoga sampeyan suka. Nak, kita minum jeruk anget ya.” Kalimat yg kuobrolkan sebelum menulis galauku ini.

Aku tidak bosan-bosan menyampaikan pada siapa saja yang menanyakan kabar anakku. Bahwa ia anak yang baik, tidak pernah menyusahkanku dgn keluar masuk rumah sakit, makanku teratur, tidurku nyenyak. Penderitaanku (kalau itu kategori penderitaan) cuma pegal-pegal di selangkangan kanan sehabis bangun tidur. Kram kaki kiri terhitung tiga kali, terakhir tadi pagi. Beberapa waktu lalu aku memang sempat khawatir mengapa anakku tidak pernah menyusahkan selama kehamilan, sedikit khawatir pas ngeden dan ia mencari jalan keluar nanti tidak mudah. Astaghfirullah.

Aku hampir menangis, atau mungkin sudah, aku lupa. Menangis tidak penting lagi kuperhatikan. Anakku, anakku, anakku sungsang di usia ke 34 pekannya, menjadi fokusku.


“Kasihan sampeyan, nak. Sungsan sampeyan bukan karena pilihan sampeyan. Leher sampeyan terlilit tali pusar. Pasti sampeyan ingin memutari dunia kecil yang ada di perutku kan, nak. Sebagaimana tante dokter tadi bilang, tiap bayi akan menempati posisi yang ia anggap nyaman. Sungsang bisa terjadi karena Rahim seorang ibu kecil, hingga anak tersebut tidak nyaman memosisikan kepalanya di bawah saat usia jelang kelahirannya. Tapi tidak dgn sampeyan, nak. Sampeyan terbatas gerakannya. Aku bersyukur, nak, Allah titipkan sampeyan yang di usia sedini ini telah berjuang. Insya Allah kita berdua upayakan untuk berikhtiar supaya kepala sampeyan di bawah. Aku akan rajin minum air putih, rajin sujud dan sering mengajak sampeyan mengobrol. Semoga dgn ikhtiar kita ini, kepala sampeyan di bawah dgn mudah. Insya Allah kita sama-sama berjuang ya, nak. Ayo kita bekerja sama dgn baik demi melanjutkan fase proses amanah Allah yang mana Allah percaya bahwa sampeyan mampu menjadi khalifahNya dan tentu saja aku, berjuang sebaik-baiknya demi peran ibu. Ayo, nak…” J 

Kira-kira demikian percakapanku dgn anakku. Mohon doanya bagi yang menyempatkan diri untuk membaca catatan ini. Terima kasih yaaa. Allah Sebaik-baik Pemberi balasan atas kebaikan kawan-kawan yang telah mendoakan kami berdua.

Rabu, 15 Januari 2014

Salli 'alaa Sayyidinaa Muhammad

Dua lusin popok, satu lusin kaos pendek, satu lusin gurita, delapan buah celana panjang, enam buah celana pendek, lima buah kaos panjang, tiga buah celana legging, dan tiga kain bedong. Perlengkapan bayi yang sudah kujemur, sebelumnya kucuci, kubilas, kuberi molto, dan terakhir kujemur. Lupa, entah berapa salawat yang kuucap di hati ketika proses itu berlangsung. Lantunan salawat sebanyak jumlah perlengkapan bayi tadi. Tiap proses ada gumaman salawatnya, dalam batin.

Aku bukan muslimah yang baik. Hal itu terlacak dari salat di akhir waktu, belum jatuh hati pada zikir dalam durasi lama, belum betah berdoa sekhusyuk setan merengek pada Tuhan, belum bisa menyegerakan mandi, kerap merepotkan suami ketika ada tugas membuat makalah, hobi mengecewakan dosen dengan menunda-nunda presentasi tugas kuliah. Iya mahasiswi pasca sarjana yang payah. Doaku, insya Allah aku makhluk terakhir yang paling negatif (versiku, versi Tuhan mana ada ciptaan yang sia-sia) yang diciptakanNya.

Meski begitu, masih mendamba hal-hal baik terjadi secara ajaib dalam kehidupanku. Seperti paragraf pertama di atas. Mensucikan perlengkapan bayi diiringi salawat. Mengapa salawat? 14 Januari 2014 tanggal merah, memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Tiba-tiba saja hatiku mengharu, mengingat sosok penyayang yang dikisahkan ustad-ustad panggung.

“Allah, mohon beri petunjuk pada kaumku. Sungguh, mereka tidak mengetahui agama apa yang kubawa ini.” Menurut riwayat, kalimat itu terlantun oleh sang nabi saat malaikat gunung geregetan menyaksikan tingkah polah penduduk Thaif yang melemparinya batu hingga berdarah-darah. Malaikat itu menawarkan diri untuk jadi media pengutuk bagi penduduk Thaif, dengan cara menghancurkan diri, supaya penduduk Thaif melebur bersamanya. Gila. Gila. Gila. Coba saat itu aku ditakdirkan menjadi istri sang nabi, aku akan merayu, merajuk, melakukan bermacam cara untuk mengiyakan tawaran malaikat gunung. “Insya Allah, anakku mewarisi kelembutan hatinya.” Batin terdalamku ngiler sengiler-ngilernya melangitkan doa itu.

“Muhammad gila, jangan dekati dia.” Konon cercaan ini keluar dari mulut Yahudi tua dan buta yang tiap hari disuapi sang nabi, dan sang nabi yang digilakan menjadi lawan bicaranya sendiri. Tak lama kemudian sang nabi mangkat, Abu Bakar yang menggantikan tugas itu. Rupanya Yahudi tua dan buta mengetahui sosok baru yang menyuapinya dan menanyakan keberadaan penyuap sebelumnya. “Ia wafat, orang yang kau gila-gilakan. Muhammad.” Ujar Abu Bakar. Seketika Yahudi tua dan buta mengucap kalimat syahadat, betapa secara tiba-tiba ia membangun cinta atas akhlak sang nabi. Lagi, mengucek pakaian anakku dgn melambungkan harapan, insya Allah anakku penyayang dan berhati besar.

Dahulu, sebelum sang nabi pindah ke Thaif dan Madinah, entah apa yang ada di benaknya, laki-laki berumur 40 tahun itu. Usia kematangan seseorang. Istrinya perempuan terhormat lagi mendapat julukan al-Thahirah, perempuan suci. Hidup berkecukupan. Bertaburan kasih sayang, yang bersumber dari dirinya sendiri atau istri al-Thahirahnya itu. Sedikit meraba, ia masih merasakan gejolak jiwa yang menggalaukan hati dan pikirnya. Mungkin. Hingga ia mengasingkan diri menuju gua dan mendapat pelukan dari makhluk terdekat Tuhan yang menampakkan diri dgn wujud aslinya. Sang nabi sempat limbung, khawatir yang mendatanginya adalah makhluk jahat yang menjadi kawan karib dukun-dukun Arab pada umumnya, hingga dukun-dukun itu mampu membunyikan syair-syair terkemuka.

“Mas, kamu penyayang anak yatim dan hatimu telah kau gadaikan pada fakir miskin. Mana mungkin yang mendatangimu adalah setan. Ia utusan Tuhan, mas. Percayalah.” Kalimat menenangkan dari al-Thahirah untuk hati kekasihnya. Untuk ke sekian kali, aku merapalkan doa insya Allah anakku mendapat karunia hati yang bersih dan akal yang jernih, yang mana keduanya modal untuk mengenal diri dan Tuhannya. Untuk diteruskan pada pengabdian sosialnya.

Tuhan Mahabaik, Menambah nikmat-nikmatNya bagi hamba-hambaNya yang pandai mengucap dan mengakhlakkan rasa syukur pd hidup mereka. Lebih-lebih padaku, perempuan yang mampu mempersembahkan keburukan dan kesedihan sebagai tumbal kehambaanNya. Untuk meraih karunia-karunia lain berupa pasangan dan anak keturunan yang mampu menjadi penyejuk batinku.


Allahumma salli ‘alaa Muhammad. 


Rabu, 08 Januari 2014

Masa

Sudah lama aku tak menulis panjang. Betul kata sebagian orang, bahwa menulis adalah metode penyembuhan diri dari sakit mental. Dulu aku menulis karena mencari ketenangan, jodohku kok tak datang-datang. Tuhan lupa Memberiku jodoh atau bagaimana. Dari sana aku menggelisah dan mencari obat melalui rangkaian kalimat-kalimat panjang. Terpujilah Tuhan Sembilan bulan terakhir ini aku agak lupa akan kesedihan. Suamiku yang unyu-unyu menawarkan kebaikan yang sedemikian rupa tapi yang namanya manusia boleh jadi di balik bahagianya menunggu kehancuran atau malah mengundang nikmat-nikmat Tuhan yang akan datang. Semua itu tergantung pilihan.

Sebetulnya, di balik kebahagiaan yang kusyukuri terselip kecemasan. Kalau sudah galau begitu, tiduran seharian menjadi ramuan yang menggiurkan untuk bermalas-malasan. Jadi dapat dikatakan, orang yang lebih banyak tiduran dan bermalas-malasan berarti dia memiliki kekhawatiran dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk meredamnya. Lebih jauh lagi, bila malas dikaitkan dengan ketiadaan syukur akan masa kini, maka orang yang mengidap malas akan menyukai hidup di masa lalu dan masa datang.

Tidak setiap orang mampu hidup di masa kini. Orang-orang itu lebih memilih dengan hidup di masa lalu dan masa depan. Mengingat kegagalan adalah bukti kehidupan masa lalu. Kehidupan itu menawarkan bermacam emosi-emosi negatif. Seperti mudah tersinggung, hingga ada ungkapan, “Orang yang mudah tersinggung adalah dia yang memiliki harga diri yang rendah.” Hanya pelaku yang dapat mengidentifikasi, mengapa ia mudah tersinggung. Apakah masa lalunya yang suram, sampai ia tidak menemui kenyamanan, penghargaan dan kasih sayang dari keluarga atau lingkungan ia tinggal. Atau ia pernah mengalami pelecehan mental dlsb. Hanya dia yang mampu mengurai benang kusut itu. Maaf adalah jalan terbaik utk berdamai dengan suramnya masa lalu tersebut.

Masa lalu menawarkan pula kebanggaan. Banyak juga orang yang senang berlama-lama di sana, hingga ia lupa dengan pencapaian-pencapaian kininya. Atau kesombongan telah menjadi kawan akrabnya. Tapi tidak melulu harus kebanggaan yang menjadi pemicu seseorang untuk betah menghuni masa lalunya, hingga ia mengidap kesombongan. Kegagalan juga berperan untuk meracuni kerasnya hati seseorang. Ngeri ya bila hal itu terjadi pada kita. Astaga. Tidak ada yang dapat dibanggakan dengan masa lalu, juga tidak ada guna mengingat luka batin yang ada di dalamnya. Sebaik-baik dan seburuk-buruk masa lalu tidak akan pernah kita tinggal di dalamnya. Bila kita senang melaluinya secara terus menerus, kerugian yang akan menimpa. Rugi waktu, tenaga dan kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Masa depan juga tidak kalah bahayanya, bila kita kerap menengok dan menghiasinya dengan mimpi-mimpi yang tidak kita imbangi dengan upaya serius untuk mencapainya. Rajin menciptakan impian adakalanya memang memberikan semangat hidup, namun bila sekedar memimpikan ya justru akan mengundang kebancian dalam menghadapi tantangan hidup. Bagaimana tidak? Kita lebih sering menciptakan mimpi daripada menjemputnya. Haram melarang seseorang bermimpi, karena dari sana peta kehidupan dimulai untuk menemukan sumber dari sumber dari kekayaan di dunia ini. Namun hal itu seyogyanya diimbangi dengan akhlak-akhlak baik yang dilakukan pada masa kini. Karena ada uangkapan, “Takdir kita sekarang ini adalah kelakuan-kelakuan kita beberapa tahun lalu dan takdir kita beberapa tahun yang akan datang adalah upaya-upaya kita sekarang.”

Masa kini. Ia merupakan senjata paling ampuh untuk memahami kemauan alam dan Tuhan. Selamat kepada mereka yang mampu memilih hidup di masa kini. Hidupnya sebatas kini, ia akan melakukan hal-hal terbaik karena ia menganggap hari ini adalah hari terakhirnya. Toh kalaupun ia memiliki impian di masa depan, ia akan tetap hidup di kekiniannya. Contoh, bila ia memimpikan bertemu Tuhan, ia akan mempertebal keyakinannya dengan mematuhi suruhan Tuhan dan menjauhi apa yang dibenciNya. Mulai mencintai apa yang Tuhan cintai dan bila ada kebencian bukan atas kepentingannya sendiri tapi atas semangat ketuhanan. Yaitu membenci perilakunya bukan pelakunya.

Apa yang kucemaskan hingga lahir kesadaran untuk menjadikannya sebuah tulisan? Masya Allah, sebaiknya aku salat maghrib, masak nasi dan mandi dulu. Suamiku sebentar lagi pulang. Wallahu a’lam untuk tulisan yang tak selesai ini. Semoga ada kemanfaatan bagi pembaca yang menyempatkan menelusuri kalimat-kalimatnya.