Harusnya aku sekarang meneliti kevaliditasan tiga ekor hadis,
untuk kemudian kuketik sebagai tugas UAS yang wajib diserahkan besok siang. Tapi
aku lebih memilih menulis curhatan ini, sebagai media penenang untuk batinku
dan mengobrol dengan anakku, di perutku. Semoga saat kuceritakan nanti dosenku
memaklumi keadaan batinku malam ini, apa yang melatarbelakangi tidak selesainya
tugas UASku.
Jelang maghrib tadi, aku konsultasi kandunganku, usianya udah
34 pekan. RSB Permata Sarana Husada menjadi pilihanku atas rekomendasi dari
kawan suamiku yang puas dgn layanan di RSB itu. Di hadapanku ada perempuan
berwajah tegar, tenang dan nampak sekali sifat mengayominya. Perempuan itu
berbalut jilbab bergo hijau, dr. Mela Amalia Dewi. Sp. OG. Entah perawat, entah
bidan yang mengoleskan gel ke perutku, untuk diperiksa apa kabarnya anakku.
“Air ketubannya nyaris kurang ya. Perbanyak air minum. Kepalanya
sungsang, kelilit tali pusar. Sering-sering sujud dan mengajak ngobrol bayi ya.”
Dr. Amalia menyampaikan pengamatannya, pandangannya tetap pada monitor gambar
anakku.
“Dok, saya nggak perlu cemas berlebihan kan mendengar kabar
sungsangnya anak saya?” Balasku, menunjukkan mental ketakutan dan
kekhawatiranku. Ya, begitulah psikologi berbicara. Bila ada yang mengatakan
kalau dia baik-baik saja, berarti dia belajar untuk membuat dirinya baik. Bila sering
up date status di jejaring sosial menuliskan semangat, artinya ia sedang menggalaukan
suatu hal atau ia sedang membangun semangat. Belum tentu ia semangat. Sebagaimana
aku, kalimat “Nggak perlu cemas” berarti aku sedang cemas.
“Kenapa kamu takut? Kita masih memiliki waktu dua pekan ke
depan. Kamu sering-sering ajak bayimu bicara dan perbanyak sujud ya.” Ucap dr.
Amalia, kami beradu pandang. Dilanjutkan nasehatnya supaya aku memperbanyak
makan buah dlsb. Aku merasa senang konsultasi dgnnya, ia memanggil namaku,
tanpa ibu atau nyonya. Kupikir itu sebuah keakraban. Dr. Amalia masih relatif muda,
kira-kira usianya 40 tahun ke bawah atau 35 tahun ke atas. Lalu aku menanyakan
bila jelang persalinan kepala anakku masih sungsang, apa masih mampu melahirkan
secara normal. Ia tidak menyarankan, karena anak pertama.
Di RSB itu emosiku masih stabil. Aku masih menyempatkan
senyum dengan kasir, pegawai Farmasi dan tukang parkir. Vablu (Vario biru)
kuarahkan ke salah satu Apotik murah di Pamulang, lupa nama apotiknya. Memesan obat,
masih senyum pada petugasnya. Selesai, bayar dan galau. Duduk sebentar di kursi, terlintas memberi kabar suami. Tadinya ingin menceritakan pas di rumah, supaya ia tidak khawatir. BBM terkirim padanya, lalu aku menuju parkir melangkah pulang. Detik itu galauku menjadi-jadi. Tak tentu arah mana yang hendak kutuju. Pulang, ke yayasan
teman lalu mengajaknya menghadiri kuliah umum dan menonton film Haji karya
guruku, om Bagus, atau pergi ke perpustakaan untuk merampungkan tugas UAS yg
belum selesai.
Pergi ke yayasan teman dan mengajaknya kuliah umum menjadi
pilihanku. Aku ingin didoakan om Bagus yang insya Allah bersama istrinya, Sabtu
18 Januari 2014 akan ke tanah para nabi untuk melaksanakan ibadah umrah. Pikiranku
masih kalut, tiba-tiba sudah seperempat jam di jalan datang rintik hujan. Kuputar
Vablu dan aku mengurungkan keinginanku. Aku mampir ke sate Madura, memesan lalu
pulang. Detik itu aku berdoa semoga aku ingat untuk selalu mengajak ngobrol
anakku, apapun kegiatanku. “Nak, kita makan sate ya. Semoga sampeyan suka. Nak,
kita minum jeruk anget ya.” Kalimat yg kuobrolkan sebelum menulis galauku ini.
Aku tidak bosan-bosan menyampaikan pada siapa saja yang
menanyakan kabar anakku. Bahwa ia anak yang baik, tidak pernah menyusahkanku
dgn keluar masuk rumah sakit, makanku teratur, tidurku nyenyak. Penderitaanku (kalau
itu kategori penderitaan) cuma pegal-pegal di selangkangan kanan sehabis bangun
tidur. Kram kaki kiri terhitung tiga kali, terakhir tadi pagi. Beberapa waktu
lalu aku memang sempat khawatir mengapa anakku tidak pernah menyusahkan selama
kehamilan, sedikit khawatir pas ngeden dan ia mencari jalan keluar nanti
tidak mudah. Astaghfirullah.
Aku hampir menangis, atau mungkin sudah, aku lupa. Menangis tidak
penting lagi kuperhatikan. Anakku, anakku, anakku sungsang di usia ke 34
pekannya, menjadi fokusku.
“Kasihan sampeyan, nak. Sungsan sampeyan bukan
karena pilihan sampeyan. Leher sampeyan terlilit tali pusar. Pasti
sampeyan ingin memutari dunia kecil yang ada di perutku kan, nak. Sebagaimana
tante dokter tadi bilang, tiap bayi akan menempati posisi yang ia anggap
nyaman. Sungsang bisa terjadi karena Rahim seorang ibu kecil, hingga anak
tersebut tidak nyaman memosisikan kepalanya di bawah saat usia jelang kelahirannya.
Tapi tidak dgn sampeyan, nak. Sampeyan terbatas gerakannya. Aku bersyukur,
nak, Allah titipkan sampeyan yang di usia sedini ini telah berjuang. Insya
Allah kita berdua upayakan untuk berikhtiar supaya kepala sampeyan di
bawah. Aku akan rajin minum air putih, rajin sujud dan sering mengajak sampeyan
mengobrol. Semoga dgn ikhtiar kita ini, kepala sampeyan di bawah dgn
mudah. Insya Allah kita sama-sama berjuang ya, nak. Ayo kita bekerja sama dgn
baik demi melanjutkan fase proses amanah Allah yang mana Allah percaya bahwa sampeyan
mampu menjadi khalifahNya dan tentu saja aku, berjuang sebaik-baiknya demi
peran ibu. Ayo, nak…” J
Kira-kira demikian percakapanku dgn anakku. Mohon doanya bagi
yang menyempatkan diri untuk membaca catatan ini. Terima kasih yaaa. Allah
Sebaik-baik Pemberi balasan atas kebaikan kawan-kawan yang telah mendoakan kami
berdua.