Selasa, 16 Oktober 2012

Air Mengalir



 

5 W 1 H rumus dunia tulis menulis yang aku dapat dari pelatihan FLP Ciputat tahun lalu. Who, what, where, when, why dan how sebuah senjata penulis dalam mengembangkan ide cerita. Semua orang memiliki cerita, merasakan sebuah kondisi suka, duka dan atau suka duka secara bersamaan.

Ketika 5 W 1 H ini diajukan pada kita mudahkah kita menjawabnya? Siapa kita? Apa yg sudah kita lakukan untuk orang lain? Di mana kita memposisikan diri dalam lingkungan? Kapan kita harus merespon emosi atau mendiamkannya? Mengapa kita memilih akhlak-akhlak tertentu? Bagaimana semestinya kita memandang hidup? Menurutku butuh waktu seumur hidup utk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi, entah menurut orang lain. Kok kesannya horror ya, hidup kok serius amat gitu.

Begini ceritaku. Jika ada kalimat bijak, “Jadilah seperti air yang mengalir begitu saja.” Sepertinya aku memahaminya belakangan ini, setelah taubat memandang hidup dgn standar sendiri beserta ego yang begitu tinggi. Meski taubat jangan pernah menebak egoku menyusut ya, itu tak kan pernah terjadi, sodara sodari! Level taubat kan bermacam; ada tomat (taubat maksiat) hingga toha (tobat nasuha, denger-denger sih yg ini sebenar-benarnya taubat). Aku level tomat tadi, mungkin.
Kembali ke air tadi, betapa banyak sisi positif dr unsur alam tsb. Air bertugas menghijaukan bumi, melenyapkan dahaga dr tenggorokan, menyegarkan tubuh, mendominasi unsur tubuh. Ini analisa dangkalku, coba ya aku memakai teori insya Allah mungkin lebih keren lagi analisanya. Namun sifat air sangat plegmatis, ia mengikuti aliran yg rendah, tidak pernah melawan arus.

Beberapa hari lalu sahabatku, Nura, mengajakku untuk memenuhi panggilan rindu yang bertalu-talu. Kangen PAZKI, sebuah yayasan non profit yang menumbuhkembangkan kepedulian sbg nyawa yang menggerakkan hidup matinya tempat kongkow anak-anak jalanan.

Dari awal aku memang tidak memiliki ide untuk membagi apa-apa pada mereka. Yep tadinya pikiran bawah sadarku menganggap aku belum mahir menghadapi mereka. Aku suka bocah tapi kalau utk menggendong lalu mencium-ciumnya gitu sepertinya aku lebih memilih mengendarai Vablu (nama motorku) berkilo-kilo. Meski anaknya Ricard Gere pun lewat di depanku (aku jatuh cinta pd actor romantic tsb) aku jamin nggak bakal aku sentuh sedikit pun. Iya bocah telah dicipta dr sononya sepaket dgn kerewelan dan kedekilannya.

Anak jalanan. Terhadap istilah ini ada yg menganggapnya negatif, lebih-lebih aku. Begini pembelaan akal-akalanku. Mereka adalah sekumpulan pemuda-pemudi yg dikecewakan hidup, belum lg emosi yg acak-adul, bau bangkai naga dan persoalan-persoalan psikologis lainnya. ‘Af nyerah deh aku.

Namun senja itu sungguh sangat luar biasa, serasa aku di surga diiringi nada-nada kedalaman hati dan jiwa yg mengemuka. Aku tak perlu ber-ice breaking ria utk gabung ke kerumunan mereka, kami menyanyi dgn girangnya, tak ketinggalan pula gerakan jogetku yg tak jelas arahnya. Mereka pandai sekali menghibur diri dan orang lain. Anak-anak jalanan yg kata Nabi Musa ada Allah dlm hati mereka tapi rupanya aku-lah yg mencuri kedamaian dan ketenangan dr mereka, utk menenangkan hatiku yg khawatir pd masa depan dan trauma pd masa lalu. Seniman seperti mereka lebih mudah membaur dgn siapa saja, termasuk aku ini.

Aku membacakan mereka dongeng ttg setan vs Abu Hurairah, lengkap dgn mimic, intonasi dan gesture yg kupelajari dr guru pikirku, om Bagus. Azan berkumandang, salat ditegakkan. Setelah itu kami mengaji lalu menyanyi dan joget sembari menunggu makan malam. Kami pamit pulang, tadinya aku nggak begitu rindu tapi mengapa dgn sendirinya kerinduan pd mereka terobati?

Kami membahas pak Siswandi, manusia separo dewa. Lelaki pengiba, lelaki yg menggunakan hati ketika berkomunikasi dgn siapa saja. Melalui media hati itulah pak Sis mudah sekali membaur dgn siapa pun. Bagi adik-adik PAZKI, pak Sis adalah segalanya. Namun pak Sis wafat dgn sangat tiba-tiba. Aku termasuk orang yg kehilangan beliau. Pak Sis wafat dgn mewariskan cita-cita mulia serta 2 hektar tanah yg siap utk memfasilitasi adik-adik PAZKI.

Sebelum pulang kami doa bersama, melangitkan harapan kami ke depannya. Doa berbahasa Indonesia yg dimunajatkan salah satu didikan PAZKI, hah betapa syahdunya. Seolah Nabi Musa hadir di tengah-tengah kami utk mengamini. Otomatis air meleleh dr mataku, mulai saat itu aku sadar dan membatin, “Ndak mungkin air mengalir dr mata perempuan yg di hatinya tidak jatuh cinta pd anak-anak, aku hanya Cuma belum mahir menghadapi mereka. Mungkin.”

Sekarang aku duduk di kursi hitam, direktur utama tempat aku bekerja eh belajar menduduki kursi yg sama, mejanya tepat di depanku. Iya peranku saat ini menjabat  sbg manager operasional biro perjalanan haji dan umrah, aku yg belum pernah sekali pun mengandalkan ijazah utk mencari pekerjaan. Ijazah yg mendekam 2 tahun setelah pemindahan kuncir oleh Rektor pd hari keramat wisuda 2010 lalu.

Aku sudah mengikuti rapat dgn direktur utama yg sudah melanglang buana di belahan dunia dan direktur marketing yg menimba ilmu di negeri Kangguru. Mereka begitu ramah dan mengingatkan posisiku di sini hanya sekedar judul utk memudahkan org-org  yg akan kutemui nantinya. Kakak laki-lakiku jg menasehatiku kalau aku bukan orang kantoran yg mengantongi semilyar pengalaman kerja. Jadi beliau mengganti istilah kerja dgn belajar. Iya belajar, belajar, belajar. Apa itu belajar. Ah entah ujungnya ke mana peranku saat ini, yg penting belajar.

“Mbak, insya Allah kamu lebih ngetop dr Chairil Tanjung. Kamu orangnya polos, baik hati dan jujur.” Ujar laki-laki sekantor bagian dokumentasi, laki-laki yg menikah dua kali, laki-laki yg hobi menceritakan prestasi-prestasi gemilang semasa ia sekolah dulu, laki-laki yg ketika bicara lupa menyertakan titik komanya, laki-laki yg mendefinisikan cantik ketika ia nyaman dan sering mengajak bicara si pemilik ‘cantik' tsb. Aku merasa cantik, ia sering mengajakku bicara soalnya.
Hidup menurutku aneh. Bagaimana tidak? Aku orang yg petakilan, pecicilan. Kupikir keinginan yg kutata dgn rapih akan mewujud begitu saja, aku merasa melakukan ini dan itu pasti hasilnya ini dan itu jg, rupanya hasilnya malah anu. Aku menduga anak jalanan adalah sekumpulan makhluk tak berpendidikan namun rupanya mereka lebih pandai mengatur hidup ini dgn irama dan nada yg mereka ciptakan. Aku tidak kenal siapa Chairil Tanjung tapi aku dilebihkan dr beliau, yg melebihkan org yg baru kukenal pula dan entah sampai saat ini aku belum memutuskan utk menganggapnya ngaco apa betul-betul mendoakanku ngetop nantinya.

Aku benar-benar belum memahami hidup dgn utuh. Pak Sis dgn segala harapan mulianya pun dgn tiba-tiba diputus sm Allah utk berhenti menjadi wakil-Nya padahal menurutku betapa adik-adik PAZKI sangat membutuhkan belaian kasih sayangnya. “Kalau hal baik pun tidak abadi, apalagi hal yg buruk?” Aku mau gila memikirkan semua ini. Jadi apa sebetulnya yg penting di dunia ini? Berjalan saja, sewajarnya. Belajar mensahabatkan diri dgn kedalaman batin sendiri, dgn lingkungan, dgn alam. Selalu menjaga komunikasi yg baik dgn Tuhan. Apapun yg kita pikirkan, niatkan, lakukan semoga hanya DIA yg menjadi tujuan akhir dan ridha-Nya saja yg kita harapkan. Cuma DIA. Insya Allah sih yaa :)



3 komentar:

  1. teruslah menulis, menulis sebagai terapi emosi, kontempalasi dan berbagi ilmu tentunya. Salut tuk titin.

    BalasHapus
  2. Akhirnya kau buat juga blog. Inilah maksudku setelah sempat kusarankan.padamu 'ayo, bikin blog n menulislah."
    Maksudku, jangan biarkan percikan hikmah yang kamu telurkan hanya mengendap tak teridentifikasi ke depannya. Tetap semangat dan aku gak punya lagi kata-kata untuk merespon cara pintarmu menghadapi hidup. Aku cuma mau bilang, kamu makin keren ;)

    BalasHapus
  3. lina dan lanny, dua sahabat cerdasku. thanks, dears.. i love both of you :))

    BalasHapus