Selasa, 23 Oktober 2012

Mukena Solo

                                                   mukena Solo


“Allah, rambutku beruban, tulang-tulangku tak mampu lagi menyangga beban tubuhku, istriku mandul. Namun aku belum pernah kecewa dalam meminta kepada-Mu, anugerahilah aku seorang anak dr sisi-Mu, ya Allah.” Ucap Nabi Zakaria dgn suara yg lembut.

Dalam literatur agama, dikisahkan Nabi Zakaria seorang pemimpin tertinggi Bani Matsan, klan paling terkenal Israel, dahulu kala. Ia mencium bau pengkhianatan dr keluarga dekatnya, sepeninggalnya nanti ia khawatir agama Allah akan hancur dgn kemusnahan keturunan darinya. Di hatinya telah terpatri niat mulia, agama Allah tak boleh lenyap dr dunia ini, syukur-syukur penerusnya dr golongannya sendiri. Ia tak henti-hentinya berdoa.

“Ya Allah, jgn Engkau biarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah ahli waris yg terbaik.” Nabi Zakaria mengulang-ulang permintaannya. Ia dan istrinya adalah pasangan yg menyegerakan berbuat kebaikan, mereka berdoa pada Allah dgn harap dan cemas, mereka pasangan yg sangat fokus.

Nabi Zakaria adalah paman Maryam, sehingga kelak Maryam dlm pemeliharaannya. Ketika Maryam masih berbentuk janin, ibunya bernazar akan menjadikan janin tsb utk menghamba kpd Allah. Lahirlah perempuan suci, Maryam. Ia tumbuh dewasa, mewujud gadis belia. Mata, telinga, lisan, penciuman dan perasaannya terjaga dr apapun dan siapapun. Pertumbuhan yg sangat baik.


Singkat kata, Nabi Zakaria memiliki hak utk memelihara dan mengurusi keperluan Maryam selama pengasingan dlm penghambaan pd Rabb-nya. Setiap kali Nabi Zakaria mengunjungi Maryam di Mihrab, kamar khusus ibadah, ia mendapati makanan di sisi Maryam. “Hei ponakan, makanan dr mana ini?” Nabi Zakaria bertanya dgn penuh keheranan. Tak ada satupun makhluk yg mengetahui tempat pengasingan Maryam, pasti terjadi sesuatu yg mistis, semacam campur tangan Tuhan.

“Om, ini dari Allah.” Jawab Maryam dgn mantap tanpa penjelasan.

Meski telah renta namun pikun tak sudi hinggap di pikirannya, human error kali ini tidak berlaku utk orang tua sepertinya. Yes, ia satu-satunya yg mengetahui persembunyian Maryam, hanya dia. Seketika itu jg Nabi Zakaria melangitkan permintaannya pd Allah. Ketakjubannya tak boleh ia sia-siakan, harus diarahkan pd nilai keyakinan. Ia dlm suasana kebatinan yg luar biasa, seolah tak ada jeda waktu dan ruang antara ia dan Allahnya. “Allah, berilah aku keturunan yg baik dr sisi-Mu. Sungguh, Engkau Maha Mendengar doa.” Ucap Nabi Zakaria penuh lelehan air di matanya.

Tiba-tiba suara menggema di pikirannya. “Hei Zakaria, Allah memberikan berita gembira kpdmu dgn kelahiran Yahya, yg membenarkan firman dari-Nya, menjadi panutan, berkemampuan menahan diri dr nafsu jg ia seorang nabi di antara org-org salih.”

Ia kaget luar biasa, bulir-bulir kaca menembus kulitnya, ia merasa tak tersentuh ruang dan waktu. Namun ia tak hilang kendali, meski pikirannya membadai. Segera ia ajukan ketidakmengertian. “Allah, bagaimana mungkin aku mempunyai anak? Istriku mandul, aku seorang tua renta. Bagaimana mungkin?” Nabi Zakaria tetap memasang pikiran warasnya, ia khawatir kabar bahagia tsb ada was-was iblis di dalamnya. Segera ia meminta tanda atau bukti utk membenarkan berita luar biasa itu, dgn harapan ia terbebas dr bisikan-bisikan iblis.

“Hei Zakaria, bukti berita gembira ini adalah selama tiga hari ke depan kau tak dapat berbicara dgn manusia ya. Padahal kau sangat sehat dan dgn mudah melakukannya sebelumnya. Yup, Nabi Zakaria betul-betul puasa bicara. Meski secara verbal ia tidak dpt berkomunikasi, ia mengisyaratkan kaumnya utk mensucikan Allah di pagi dan petang.

Kisah Nabi Zakaria salah satu kisah faforitku. Di sana tertuang bermacam inspirasi; ajaran mental utk memupuk keyakinan atas doa yg dilangitkan, menjaga fokus (atau bahasa agamanya khusyu’) dlm berkomunikasi dgn-Nya dan ketika mengalami situasi mengharukan saat-saat itulah cepat-cepat melantunkan keinginan. Haru di sini benar-benar meng-off-kan otak kiri yg rawan kesetanan, tugas utama otak kiri sbg penganalisa dipensiunkan utk sementara.

Dua tahun lalu, entah hari ke berapa dr bulan Ramadan, aku ikut bukber guruku, om Bagus, di rumah koleganya (om siapa lupa). Di rumah tsb terdapat pajangan-pajangan buah tangan dr  luar negeri (sampe ada bufet khusus) yg menunjukkan penghuninya hobi melancong ke dunia. Selidik punya selidik memang istri dr kawan guruku adalah anggota PBB. Hidangan buka puasanya pun dr bermacam negeri tetangganya tetangga; Itali, Perancis dll. Tapiii bukan kesenangan-kesenangan tsb yg membuatku mengingatnya sampai hari ini.

Jumlah dan betapa wanginya mukena lah yg menguatkan ingatan bukber itu di memori pikiran bawah sadarku. Jumlah mukenanya puluhan. Yup, aku masih ingat betul terlantun dr mulutku utk mengoleksi mukena dgn harapan teman-temanku atau teman-teman suamiku (nanti eh sebentar lagi) ketika berkunjung ke rumah kami, mereka bahagia karena tidak mengantri mukena, kalau perlu siapapun yg mengunjungi rumah kami nanti dapet mukena satu-satu (amiiin).

Allah mengiyakan doaku. Beberapa hari lalu aku dapat hadiah mukena dr sahabatku yg domisili di Solo. Aku memilih ijo (denger-denger ijo warna ngetren di dunia sufi jadi aku ikut-ikutan menyukainya). Entahlah setiap tahunnya aku punya mukena baru, aku curiga gara-gara doaku di rumah koleganya om Bagus tadi. Lebih sopannya lagi mungkin aku terharu sangat, kok tumben-tumbennya orang kaya memerhatikan kelengkapan peralatan salat seperti itu (kekaguman ini mungkin efek hidup lama menggelandang). Mungkin banyak orang kaya yg begitu kali, mungkin.

*aku belum dapat endingnya tulisan ini, mungkin salah niat dr awalnya. Niat pamer mukena ijo dr Solo :))

Selasa, 16 Oktober 2012

Air Mengalir



 

5 W 1 H rumus dunia tulis menulis yang aku dapat dari pelatihan FLP Ciputat tahun lalu. Who, what, where, when, why dan how sebuah senjata penulis dalam mengembangkan ide cerita. Semua orang memiliki cerita, merasakan sebuah kondisi suka, duka dan atau suka duka secara bersamaan.

Ketika 5 W 1 H ini diajukan pada kita mudahkah kita menjawabnya? Siapa kita? Apa yg sudah kita lakukan untuk orang lain? Di mana kita memposisikan diri dalam lingkungan? Kapan kita harus merespon emosi atau mendiamkannya? Mengapa kita memilih akhlak-akhlak tertentu? Bagaimana semestinya kita memandang hidup? Menurutku butuh waktu seumur hidup utk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi, entah menurut orang lain. Kok kesannya horror ya, hidup kok serius amat gitu.

Begini ceritaku. Jika ada kalimat bijak, “Jadilah seperti air yang mengalir begitu saja.” Sepertinya aku memahaminya belakangan ini, setelah taubat memandang hidup dgn standar sendiri beserta ego yang begitu tinggi. Meski taubat jangan pernah menebak egoku menyusut ya, itu tak kan pernah terjadi, sodara sodari! Level taubat kan bermacam; ada tomat (taubat maksiat) hingga toha (tobat nasuha, denger-denger sih yg ini sebenar-benarnya taubat). Aku level tomat tadi, mungkin.
Kembali ke air tadi, betapa banyak sisi positif dr unsur alam tsb. Air bertugas menghijaukan bumi, melenyapkan dahaga dr tenggorokan, menyegarkan tubuh, mendominasi unsur tubuh. Ini analisa dangkalku, coba ya aku memakai teori insya Allah mungkin lebih keren lagi analisanya. Namun sifat air sangat plegmatis, ia mengikuti aliran yg rendah, tidak pernah melawan arus.

Beberapa hari lalu sahabatku, Nura, mengajakku untuk memenuhi panggilan rindu yang bertalu-talu. Kangen PAZKI, sebuah yayasan non profit yang menumbuhkembangkan kepedulian sbg nyawa yang menggerakkan hidup matinya tempat kongkow anak-anak jalanan.

Dari awal aku memang tidak memiliki ide untuk membagi apa-apa pada mereka. Yep tadinya pikiran bawah sadarku menganggap aku belum mahir menghadapi mereka. Aku suka bocah tapi kalau utk menggendong lalu mencium-ciumnya gitu sepertinya aku lebih memilih mengendarai Vablu (nama motorku) berkilo-kilo. Meski anaknya Ricard Gere pun lewat di depanku (aku jatuh cinta pd actor romantic tsb) aku jamin nggak bakal aku sentuh sedikit pun. Iya bocah telah dicipta dr sononya sepaket dgn kerewelan dan kedekilannya.

Anak jalanan. Terhadap istilah ini ada yg menganggapnya negatif, lebih-lebih aku. Begini pembelaan akal-akalanku. Mereka adalah sekumpulan pemuda-pemudi yg dikecewakan hidup, belum lg emosi yg acak-adul, bau bangkai naga dan persoalan-persoalan psikologis lainnya. ‘Af nyerah deh aku.

Namun senja itu sungguh sangat luar biasa, serasa aku di surga diiringi nada-nada kedalaman hati dan jiwa yg mengemuka. Aku tak perlu ber-ice breaking ria utk gabung ke kerumunan mereka, kami menyanyi dgn girangnya, tak ketinggalan pula gerakan jogetku yg tak jelas arahnya. Mereka pandai sekali menghibur diri dan orang lain. Anak-anak jalanan yg kata Nabi Musa ada Allah dlm hati mereka tapi rupanya aku-lah yg mencuri kedamaian dan ketenangan dr mereka, utk menenangkan hatiku yg khawatir pd masa depan dan trauma pd masa lalu. Seniman seperti mereka lebih mudah membaur dgn siapa saja, termasuk aku ini.

Aku membacakan mereka dongeng ttg setan vs Abu Hurairah, lengkap dgn mimic, intonasi dan gesture yg kupelajari dr guru pikirku, om Bagus. Azan berkumandang, salat ditegakkan. Setelah itu kami mengaji lalu menyanyi dan joget sembari menunggu makan malam. Kami pamit pulang, tadinya aku nggak begitu rindu tapi mengapa dgn sendirinya kerinduan pd mereka terobati?

Kami membahas pak Siswandi, manusia separo dewa. Lelaki pengiba, lelaki yg menggunakan hati ketika berkomunikasi dgn siapa saja. Melalui media hati itulah pak Sis mudah sekali membaur dgn siapa pun. Bagi adik-adik PAZKI, pak Sis adalah segalanya. Namun pak Sis wafat dgn sangat tiba-tiba. Aku termasuk orang yg kehilangan beliau. Pak Sis wafat dgn mewariskan cita-cita mulia serta 2 hektar tanah yg siap utk memfasilitasi adik-adik PAZKI.

Sebelum pulang kami doa bersama, melangitkan harapan kami ke depannya. Doa berbahasa Indonesia yg dimunajatkan salah satu didikan PAZKI, hah betapa syahdunya. Seolah Nabi Musa hadir di tengah-tengah kami utk mengamini. Otomatis air meleleh dr mataku, mulai saat itu aku sadar dan membatin, “Ndak mungkin air mengalir dr mata perempuan yg di hatinya tidak jatuh cinta pd anak-anak, aku hanya Cuma belum mahir menghadapi mereka. Mungkin.”

Sekarang aku duduk di kursi hitam, direktur utama tempat aku bekerja eh belajar menduduki kursi yg sama, mejanya tepat di depanku. Iya peranku saat ini menjabat  sbg manager operasional biro perjalanan haji dan umrah, aku yg belum pernah sekali pun mengandalkan ijazah utk mencari pekerjaan. Ijazah yg mendekam 2 tahun setelah pemindahan kuncir oleh Rektor pd hari keramat wisuda 2010 lalu.

Aku sudah mengikuti rapat dgn direktur utama yg sudah melanglang buana di belahan dunia dan direktur marketing yg menimba ilmu di negeri Kangguru. Mereka begitu ramah dan mengingatkan posisiku di sini hanya sekedar judul utk memudahkan org-org  yg akan kutemui nantinya. Kakak laki-lakiku jg menasehatiku kalau aku bukan orang kantoran yg mengantongi semilyar pengalaman kerja. Jadi beliau mengganti istilah kerja dgn belajar. Iya belajar, belajar, belajar. Apa itu belajar. Ah entah ujungnya ke mana peranku saat ini, yg penting belajar.

“Mbak, insya Allah kamu lebih ngetop dr Chairil Tanjung. Kamu orangnya polos, baik hati dan jujur.” Ujar laki-laki sekantor bagian dokumentasi, laki-laki yg menikah dua kali, laki-laki yg hobi menceritakan prestasi-prestasi gemilang semasa ia sekolah dulu, laki-laki yg ketika bicara lupa menyertakan titik komanya, laki-laki yg mendefinisikan cantik ketika ia nyaman dan sering mengajak bicara si pemilik ‘cantik' tsb. Aku merasa cantik, ia sering mengajakku bicara soalnya.
Hidup menurutku aneh. Bagaimana tidak? Aku orang yg petakilan, pecicilan. Kupikir keinginan yg kutata dgn rapih akan mewujud begitu saja, aku merasa melakukan ini dan itu pasti hasilnya ini dan itu jg, rupanya hasilnya malah anu. Aku menduga anak jalanan adalah sekumpulan makhluk tak berpendidikan namun rupanya mereka lebih pandai mengatur hidup ini dgn irama dan nada yg mereka ciptakan. Aku tidak kenal siapa Chairil Tanjung tapi aku dilebihkan dr beliau, yg melebihkan org yg baru kukenal pula dan entah sampai saat ini aku belum memutuskan utk menganggapnya ngaco apa betul-betul mendoakanku ngetop nantinya.

Aku benar-benar belum memahami hidup dgn utuh. Pak Sis dgn segala harapan mulianya pun dgn tiba-tiba diputus sm Allah utk berhenti menjadi wakil-Nya padahal menurutku betapa adik-adik PAZKI sangat membutuhkan belaian kasih sayangnya. “Kalau hal baik pun tidak abadi, apalagi hal yg buruk?” Aku mau gila memikirkan semua ini. Jadi apa sebetulnya yg penting di dunia ini? Berjalan saja, sewajarnya. Belajar mensahabatkan diri dgn kedalaman batin sendiri, dgn lingkungan, dgn alam. Selalu menjaga komunikasi yg baik dgn Tuhan. Apapun yg kita pikirkan, niatkan, lakukan semoga hanya DIA yg menjadi tujuan akhir dan ridha-Nya saja yg kita harapkan. Cuma DIA. Insya Allah sih yaa :)



Rabu, 10 Oktober 2012

Dunia Full Pilihan atas Keinginan

"The real women never say huft." -Indra the writer of Gagal Idol

Kelanjutan kisah hidup Sri.

"Sri, sy pengen hidup kamu teratur. Kamu nggak ada kesibukan toh?  Kalau ada waktu tolong datang ke Serpong, buat surat lamaran. Bicara sm bu Yana, dia direktur utama travel tsb." Nada hampir full memecah gendang telinganya, via pesawat (pesawat telpon genggam), sumber suara dr org yg tinggal di negara Rasulullah saw, Madinah.

Sri duduk di kursi paling ujung. Ia merenungkan nasibnya & merenungkan apa yg harus dilakukannya dlm waktu singkat ini. Ia enggan mati tertumbuk batu besar persoalan-persoalan di tahun kesedihannya, 2012.
Sri bukan tipe perempuan yg bisa ngantor 8 jam dlm sehari, ia lebih memilih bertemu dgn org-org yg berbeda dlm tiap kesempatan. Tp suara di telpon tadi mengandung unsur menyalahkan bisa-bisanya ia hobi hidup berantakan, jg ada secercah harapan dr sang penelpon supaya Sri dapat belajar hidup di tempat kesibukan barunya nanti.

Harusnya ia telah berada di camp lingkungan berbahasa Inggris pekan lalu, ia ingin mempelajari bahasa tsb utk persiapan studi lanjutan. Namun sebab ini itu & lain hal ia menunda keberangkatannya. meski sekilas ia bermuka ratu Singa yg siaga menorehkan luka pd siapa saja yg ditemuinya tp itulah sosok Sri dgn seluruh hatinya yg Hello Kitty. Ia perempuan yg paham betul apa itu pura-pura kurban utk org lain; ya perasaan, ya tenaga, waktu dan materi (jika pas kebeneran ada).

Sri mulai dekat-dekat dgn apa itu tulus setelah sekian lama berkawan dgn statistik yg luber dgn angka-angka, hitungan njlimet atas hidupnya. Tentu tulus yg pura-pura, sebab ia tak paham betul hal begituan.
Lintasan demi lintasan pikiran membayang dan mengejar-ngejarnya. Sesungguhnya ia mempunyai rencana apik meski diragukan kejituannya, utk hidupnya kelak.

Tertanggal 14 Oktober nanti ia mengimajikan berada di camp dgn teman-teman baru, week day di sana, belajar mendalami bahasa Inggris sembari menjajakan dagangan gamis atau busana perempuan lainnya kpd teman sesama camp atau bahkan teman di luar camp. Ia bertekad kencan pula dgn sahabat SD nya yg mahir bahasa Arab, sahabat laki-laki yg ribuan hari baru dipertemukan dgnnya melalui media telpon genggam, sahabat yg jg berkeinginan mendalami bahasa internasional sebelum ia melanjutkan studi ke Leiden University, Belanda.


Sesekali week end merawat emaknya (satu-satunya org tua yg tersisa) atau week end di salah satu kota sahabat-sahabat di pesantrennya dulu (Madura, Trenggalek, Jember, Paiton, Jombang dll).

Suatu hari Sri mendengar wacana di radio bahwa 2020 orang akan dianggap aneh kalau tidak mengalami penyakit mental yg bernama depresi saking mewabahnya penyakit tsb. Dr sana ia berpikir membagi waktunya utk peduli trhdp org lain. Hatinya berbisik utk melanjutkan sekolahnya meski Sri sempat kecewa tiadanya jurusan disipilin ilmu yg ingin ia dalami di salah satu almamater kampusnya, Program Magister Sains Psikologi, jurusan Klinis. Ia tetap berdoa semoga Allah memudahkan niat baiknya utk hijrah dr kebodohan menuju ilmu pengetahuan.

Ah rupanya semua itu sekedar rencana setengah matang. Buktinya ia kalut dgn telpon dr lelaki yg kebeneran (utk mempensiunkan kebetulan, iya Allah Mahadetail merancang semuanya bahkan daun yg jatuh pun telah rapih terencana atas kehendak-Nya) adalah kakak kandungnya, pemilik saham terbesar di travel Haji & Umrah tsb. Kakak yg dulu pernah berniat membiayai sekolahnya di Malaysia tp Sri menolaknya.

Sri tetap menyusun rencana hidupnya dan berupaya membuatnya nyata. Ia berdoa semoga awal 2013 ia merasakan kenikmatan bertukar pikiran dgn teman-teman kelas barunya, entah tafsir entah filsafat yg akan menjadi materi kuliah pilihan khususnya. Pilihan jurusan inipun masih sekedar menjadi negosiasi antara ia & Allahnya, namun hatinya berbisik mengingatkan bahwa ilmu apapun jika semakin mendekatkan dirinya dgn Allahnya itulah sebaik-baik ilmu. Sambil berdagang busana perempuan tentunya. Satu lg doa mendesak lainnya adalah pasangan jiwa yg merelakan diri utk mendidik keakuan Sri.

Semoga dukungan sang Mahacinta tetap di dada terdalamnya. Iya sengotot apapun Sri mematematikakan hidupnya utk lebih bermakna, ujungnya kehendak-Nya saja yg tercipta. Sikapnya mulai melunak. Utk sementara & barangkali utk selanjutnya ia ingin berpasrah pd pilihan-pilihan yg Allah hadirkan dlm hidupnya, dgn cara mendengarkan pertimbangan org-org di sekitarnya dan tentu saja bisikan hati terdalamnya. Ia jg berdoa semoga Allah memberikan akhlak pasrah & tawakal serta sabar sepaket dgn bisikan-bisikan keinginan hatinya. Supaya apa? Mudah2an kedukaan itu tidak ada & lenyap entah pergi ke mana jika takdir bicara atas ketertundaan impian-impiannya, jg mudah2an ia tidak berlebihan bahagia yg berhulu pd kesombongan ketika Allahnya Mengiyakan impian-impiannya.

"Ah barangkali inilah hidup. Suka duka adalah sebuah keniscayaan, jika polanya sama bagaimana bisa aku menyamankan diri pd lubang yg sama? Bismillah semoga Allah menjaga isi hati, pikiran dan akhlakku." Ujar Sri sambil mengusap keringat di dahi. Wajahnya diam menunjukkan hati yg kosong, hati yg siap diisi dgn air kehidupan beserta harapan semoga jiwa tenangnya tumbuh bersama org-org baru, mungkin rekan kantornya.