Menjanda sebelum menikah, mungkinkah? Aku mengalaminya,
sekarang detik-detik proses perayuan menyembuhkannya. Ini tidak seperti bunda Maryam yang
melahirkan tanpa sentuhan laki-laki. Kalau bunda Maryam, jelas-jelas itu
mukjizat. Aku? Tak perlu muluk-muluk meraih anugerah, terhindar dari kutukan saja
sudah menjadi hal luar biasa bagi perempuan sepertiku. Aku perempuan macam apa
ya? Entah.
“Biasanya akan terjadi hal buruk dulu, sebelum semuanya
membaik, bahkan lebih baik dari prasangka kita.” Dialog di film, lupa judulnya.
Menurut seorang kawan, aku salah satu tolok ukur dari
ketegaran perempuan. Jika aku menyerah, bagaimana nasib perempuan lain? Geli
juga, melihat aku bukan aktivis gender manapun. Pendapat lain mengatakan aku
termasuk perempuan sabar, pasanganku belum jelas tapi tetap mengembangkan
senyuman. Saat itu aku lupa menyampaikan padanya bahwa menangis gara-gara memikirkan
kisah cintaku hingga tertidur dan pagi kembali menyapa menjadi hobi baruku. Dramatis banget ya. Dari
sana keahlian menangisku terlatih dengan baik. Yuk mari!
2012, prahara itu dimulai. Satu tahun sebelumnya, aku
tertarik pada laki-laki seksi (saat itu). Di tahun yang sama aku berkesempatan
umrah Ramadhan bersama keluarga. Ka’bah, Hijir Ismail, Shafa Marwa, Raudhah
menjadi tempat melangitnya doaku agar Allah memasangkan kami. Bahkan di Marwa
aku membayangkan dengan jelas laki-laki seksi itu menggendong anak kami. Jantungku
membiru ketika ia membicarakan pernikahan. Responku tak seheboh perasaanku. Kekhawatiran
mendahului akal sehatku, takut gagal menikah. Benar. Kami putus Pebruari 2012,
bulan pilihan mama Loren untuk meramalkan kiamat. Mama Loren benar, setidaknya
kiamat bagiku. Aku menjanda pertama kalinya.
Hunting beasiswa ke luar negeri
menjadi terminal hidupku selanjutnya. Segala proses persyaratan sangat mudah
kupenuhi, persyaratan yang tak masuk diakal. Dari ijazah yang belum kuambil dan
butuh revisi skripsi terlebih dahulu, lalu ditranslate ke English hingga surat
rekomendasi rektor dan dekan. Semua harus selesai dalam waktu sepekan. Rasanya setelah semua syarat terpenuhi, aku menyadari betapa Allah Murah padaku (perasaan saat itu, tahu sendiri kaan hati itu kenyal dan mudah bolak-balik. Sebentar berterima kasih, sebentar kemudian mencaci).
Masa penantian pengumuman kelulusan beasiswa Allah
mengirimkan laki-laki baik, murah senyum dan berpendidikan. Sejujurnya tidak
ada alasan bagiku untuk tidak menerima sperma salihnya demi keturunan penyejuk
hati. Sementara itu aku tidak lulus seleksi beasiswa di negeri salju. Belakangan kuketahui
lulusan terbaik almamaterku pun bernasib sama denganku. Namun hatiku tersayat
sembilu dulu sebelum mengetahui takdir lulusan terbaik yang mendaftar
bersamaku itu, dan pengetahuan ini sedikit menghiburku. Menjanda kedua dimulai.
Dua pekan setelahnya, perasaan sayang mulai tumbuh pada
mas-mas yang menemani penantian beasiswa gagalku. Namun aku menangkap kesan ia tak seperti yang dulu. Kutanyakan dengan terus terang ada apa gerangan. Ia menjalin
hubungan yang prosesnya singkat, katanya. Lelah atas ketidakjelasanku menyapanya seperti
lelahku pada beasiswa gagalku. Mati rasa? Tentu. Menjanda ketiga mengambil peran. Di lain waktu, aku sosok
munafik yang sukses. Bagaimana tidak? Saat-saat krisis kepercayaan
mensahabatiku, aku diminta untuk bicara menyampaikan kalimat-kalimat surga pada
kajian ibu-ibu maupun remaja dan mahasiswa. Sukses ketika aku bisa mensudahi
pembicaraanku, dengan durasi waktu rata-rata satu setengah jam sampai dua jam.
Pencarian makna, sesungguhnya hantu hebat yang berkelebat di
sepanjang hidupku akhir-akhir ini. Bahkan dalam week end kemarin pun aku masih mencari
makna hidupku harus seperti apa. Renang menjadi pilihan. Sepekan sebelumnya
aku melobi sahabatku yang pekerja sebagai copy writer untuk menemaniku. Ia menyanggupi.
Tidak selesai sampai di situ. Rabunya, memergoki adiknya sahabatku yang lain
menangis pilu di kamar yang tertutup. Rabu memang jadual kami pengkaji
pemikiran Said Nursi, di Risalah Nurnya, untuk berkumpul mendiskusikannya. Bakat detektifku
timbul. Apa sebab dari tangisan itu. Rupanya seseorang yang dianggap kakak
dekatnya pergi tanpa pesan. Ia beranggapan kepergian kakak dekatnya itu
gara-gara kelambatan hafalan al-Qur’annya. Juga, dii hari itu ia mendapat teguran dari
calon kakak iparnya yang, juga sahabatku, mengingatkan hal sama. Hafalan.
Pelan-pelan aku mengajaknya bicara. Sempat bingung, ia masih
berusia 13 tahun. Harus dengan kalimat, kisah dan atau hikmah apa supaya rasa
bersalahnya pada dua perempuan penegur hafalannya terkurangi. karena rasa bersalah itu memproduksi mental tidak bergairah menghafal lagi. Terbata aku
membahasakan maksudku. Kuingatkan padanya untuk belajar memahami kondisi dua
orang itu, ujian apa yang melilit keduanya. Keduanya tidak mungkin menegurnya kalau tidak dilandasi kasih sayang yang demikian besar. Sayang adalah emosi terampuh meluluhkan
seseorang, semarah apapun orang itu. Katanya ia lega mendengar ceramahku, lalu
kuajak beli es krim di mall depan yayasan tempat kami belajar Risalah Nur. Gadis
usia 13 tahun ini ikut serta renang Sabtunya.
Orang yang mudah berjanji dan kadang lupa ada janji itu aku. Sabtu
mas ketigaku memintaku ke rumahnya mengantar modem yang tertinggal di tempat
tinggalku. Modem penghibur keponakanku saat ayahnya keluar kota yang,
menyertakan gadget yang biasa ia pakai untuk menenangkan zat adiktif game-nya. Padahal
renang sudah matang kurencanakan. Tak mudah menemukan waktu antara sahabat copy
writerku dan aku untuk membunuh waktu bersama. Ke rumah mas kutunda keesokannya
meski merasa bersalah atas raungan keponakanku. Kami berenang berempat; aku, si
copy writer, adik sahabatku dan adik ketemu gedeku yang, hingga detik ini belum
kuucapkan selamat atas berkurang usianya. Selesai renang, tidak menyelesaikan
kekhawatiranku.
Sabtu malam, kalau tidak ada kerjaan merupakan waktuku untuk
berbakti pada mbak ke enamku. Membantunya membungkus susu kedele untuk
diperdagangkan Minggu pagi. Biasanya aku menginap di rumahnya. Pikirku usai
makan malam dengan rekan renangku tidak ada acara nginap-menginap di tempat tinggalku. Adik ketemu gedeku sudah merancang ia akan
menikmati film setibanya di tempat tinggalku. Berarti ada acara menginap. Musnahlah
niat baikku untuk berbakti pada mbakku. Kukirim pesan pada mbak aku hanya bisa
jualannya tanpa menginap di rumahnya untuk membungkus kedele. Ia mengiyakan. Takdirku
belum berhenti di situ.
Usai jualan aku ke yayasan Said Nursi mengantar pulang
adik sahabatku. Tidak terbetik di ruang hatiku untuk mengadakan kajian. Melihat
betapa rajinnya adik-adik penghuni yayasan berjibaku membuktikan komitmen
keimanannya dalam membersihkan yayasan, aku tergerak untuk memelihara
kekompakan mereka. Semoga kekompakan itu terpelihara dengan ide kajian dadakanku.
Tema kajian mencintai keabadian. Setiap orang akan mengalami
jenis cinta ini. Mula-mula ia jatuh cinta pada kehidupan dekatnya; gadgetnya,
lawan jenis incarannya, bukunya, cita-cita dan harapannya dan hal-hal lain yang
menjadi berhala antara seseorang itu dengan Tuhannya. Iya, memberikan sepenuh
hati pada hal-hal dekat akan mengenalkan seseorang pada sesuatu yang abadi. Sebab
hal-hal dekat itu sepaket dengan kebosanan, kerusakan dan kekecewaan. Manusia
memiliki potensi sifat tidak mudah puas hati. Contoh, saat ini Vario telah
menemani hari-hariku dan aku menikmatinya. Namun masih membayang betapa aku
ingin menyetir mobil. Tidak tahu mengapa aku memiliki keinginan demikian. Tema ini
sangat bersinggungan dengan QS. Alu Imran: 133-135. Ayat yang kubaca di
rakaat-rakaat salat taubatku ketika aku ingat praharaku menjanda 3x.
Allah Maha Motivator. Asma itu kuambil dari ayat 133-135 di
atas. Betapa tidak? Allah Mahatahu bahwa hambaNya memiliki potensi sifat ingin
lebih, lebih, dan lebih. Untuk mensiasati potensi sifat itu Allah menyuruh kita
bercepat-cepat menuju ampunan dan surga. Ampunan dan surga Allah merupakan
kenikmatan tertinggi untuk merayu potensi sifat tidak puas hati itu. Kabar gembiranya,
yang dapat merasakan ampunan dan surga Allah hanya orang-orang yang bertaqwa. Kegembiraan
selanjutnya, ayat itu sudah mematok atau menandai siapa sih orang bertaqwa itu?
1.
Mereka
yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, baik saat lapang maupun sempit
2.
Penahan
marah, padahal ia berhak marah
3.
Pemberi
maaf
4.
Pelaku
zalim terhadap diri sendiri namun ia segera bertaubat dan tidak mengulangi
kesalahan yang sama.
Rasanya tak perlu kupanjang lebarkan menjadi paragraph-paragraf
untuk menjelaskan karakter muttaqin di atas. Karakter tsb benar-benar mengikis
habis berhala yang paling berhala pada diri manusia, yaitu dirinya sendiri. Aku
bukan polwan moral yang tiap saat memantau perkembangan akhlak penghuni
yayasan, namun aku paling tua (ooops) di antara mereka jadi mau tidak mau wajib
berpura-pura menjadi orang yang paling waras di tengah-tengah mereka. Itu takdirku
yang tidak semua kukisahkan selama week end kemarin. Entah sampai kapan takdir
itu berhenti, meski di tengah perjalanannya merasa gila sendiri. Namun harapan
itu masih ada, hingga kalimat paling sakti terucap di hati jelang meregangnya ruh dan badan nanti,
"Laa ilaaha illallah, Muhammadurrasulullah."