“Kami Memilih Melahirkan secara Normal” demikian artikel yang
sempat saya baca judulnya tanpa membaca isinya, saat itu saya sedang mengintai
info perihal gebetannya gebetan saya. Ok, saya akan memulai menebak isi artikel
itu dengan info-info terbatas yang pernah saya peroleh dari sumber-sumber yang
tidak terpercaya.
Bahwa melahirkan secara normal itu memiliki beberapa
keistimewaan di banding melahirkan secara sesar. Daya juang anak yang lahir
normal itu dapat diandalkan karena ia sudah berjuang mencari jalan keluar dari
alat kelamin ibunya. Konon pencarian itu tidak mudah, sehingga hal itu dapat
dipahami bahwa si anak telah berjuang hebat bersama ibunya untuk melihat ‘wajah
buruk’ dunia. Juga menjadi kebanggan tersendiri bagi sang ibu atas jasa
heroiknya itu. Pertaruhan nyawa terjadi di sini.
Saya tidak mengetahui alasan orang yang menganggap buruk
sesar. Mereka begitu sinis. Bayi hasil sesar dianggap tidak memiliki daya
juang. Benarkah demikian? Saya berdiskusi dengan laki-laki yang menghamili saya
soal ini. Hasilnya, kami sepakat bahwa jati diri seseorang tidak ditentukan
oleh satu proses peristiwa. Hal itu amat bergantung pada cita-cita hidupnya,
akan ia kemanakan roda hidupnya. Bukankah hidup itu dinamis? Statis diperuntukkan
bagi orang yang merasa kalah atas tujuan hidupnya. Statis pantas untuk orang
yang sudah menonaktifkan akal dan hatinya.
Begini, saya akan membagi kisah kelahiran anak saya. Anak saya
lahir secara sesar. Jelang usia 8 bulan di kandungan, kata dokter melalui
bantuan Gel dan entah alat apa namanya ia didiagnosis sungsang dan kelilit tali
pusat. Mendengarnya saya merasa pilu. Sebab apa? Anak saya tidak pernah
menyusahkan saya sama sekali di kandungan. Tiba-tiba mendengar kabar
mengerikan. Mengerikan karena saya diwanti-wanti untuk selalu waspada dan
berhati-hati menjaga tiap kemungkinan yang terjadi pada anak saya. Sesar adalah
sebuah solusi bila janin saya tetap pada kondisi sungsang dan kelilit tali
pusat di usianya yang ke tiga puluh delapan minggu.
Sesar adalah sebuah kondisi yang harus saya hadapi. hal itu
ditegaskan oleh dokter yang berbeda-beda. Jadi ceritanya saya keliling di
beberapa rumah sakit bersalin untuk memastikan saya mampu melahirkan normal
atau tidak. Beresiko kalau normal, karena alat kelamin saya belum pernah
dilewati bayi. Postur gagah saya dan pinggul lebar saya tidak cukup untuk
meyakinkan para dokter itu. Saat harap-harap cemas itu saya kian sayang pada
anak saya. Pasti ia tidak lagi bebas berenang di perut saya. Saya kerap
mengajaknya bicara untuk berhati-hati dan berjuang dalam keterbatasan
kondisinya.
Ok fix. Saya sesar pada tanggal 10 Pebruari 2014, pukul 08.25
anak laki-laki saya menangis untuk pertama kalinya di RSB Sari Asih Ciputat. Anda
tahu? Sebelumnya entah berapa jarum yang menusuk kulit saya. Saya lupa berapa,
yang membekas di ingatan adalah saat jarum menari-nari melacak pembuluh darah demi
memasang infus. Pencarian pembuluh darah saya ini mengerikan sekaligus
menraumakan. Bagaimana tidak? Suster-suster ngesot itu kerap salah mendeteksi,
saking tipisnya pembuluh darah saya. Sampai-sampai supervisornya langsung yang
melacak pembuluh darah saya.
Ok fix. Setelah operasi adalah saat-saat yang memilukan. Di antara
peristiwa yang memilukan adalah, saya hilang kendali tidak menyadari untuk
pertama kalinya anak saya didekatkan pada saya. Pengaruh obat bius yang
menyebabkannya. Kepiluan lainnya, saat-saat obat antibiotic akan disuntikkan ke
tangan saya. Ada enam botol antibiotic. Perih dan ngilu luar biasa. Tidak selesai
di sana. Miring kanan kiri, hari pertama. Saya pikir nyawa saya tidak bertahan
lama setelah melakukan terapi miring kanan itu. Demi menyusui anak, saya
lakukan miring kanan itu. Hari kedua, selang pipis dicabut dari V*g*n*
(sensor), sakitnya seperti digigit singa. Saatnya saya jalan-jalan ke kamar
mandi. Lagi-lagi saya tidak percaya Tuhan masih Mengkuasakan nyawa pada saya. Betapa
Hebat Dia, dan amat terpuruk dan lemahnya saya. Tiga hari di RSB Sari Asih
adalah saat-saat dekatnya saya dengan Tuhan. Karena saya selalu menyebut-nyebut
namaNya.
Keistimewaan lainnya adalah anak yang lahir normal memiliki antibody
yang Ok. Sehat sakit hanya Tuhan yang mampu memberi dan mencabutnya. Nabi Ibrahim
yang mengajarkan pemahaman demikian, saya setuju-setuju saja sih. Terlepas dari
perdebatan sebab akibat. Namun, penting bagi saya pribadi untuk memiliki mental
menyerahkan segala sesuatunya, termasuk kesehatan dan kesakitan pada Tuhan. Bukankah
wilayah manusia sebatas upaya saja? Setelah itu penyerahan total pada Tuhan
wajib pakai banget hukumnya.
Demikian sekelumit kisah saya. Mohon sambungan doanya
dari pembaca ya. Semoga anak saya sehat lahir batin selalu dan saya beserta
suami mampu mendidik amanah Tuhan dengan baik, menjadi anak yang salih, cerdas
dan memiliki semangat yang membara untuk belajar ilmu Allah. Kami segenap
keluarga mengucapkan terima kasih atas bantuan doa, dukungan, kado dan waktu
luang yang telah dihadiahkan pada kami. Allahu Akbar!!!
Salam hangat dari adik Nawa, anak saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar