Kamis, 31 Januari 2013

Insya Allah Bisa Mencintai

Kata mbak kesayanganku, "Kalau mendengar kuda meringkik petanda setan berkelebat. Kicauan burung petanda malaikat menebarkan salam dan doa." Dua kali mendengar kicauan burung, pukul 3-an dan beberapa menit lalu, segeralah kutulis kalimat ini sebagai pengingat.

Manusia berthawaf dalam sebuah siklus yang sama sebenarnya. Lahir, berkembang secara fisik dan jiwa hingga tiba pada citra diri kekanak-kanakkan atau dewasa, berpasangan, memiliki keturunan, menua lalu mati. Tentu aku tidak akan menamai teori apa yang kugunakan untuk mengemukakan pendapat itu. Karena memang aku tidak tahu, sekedar mengamati.

Dari semalam aku resah, sepertinya menginginkan menikah (astaga, astaga aku curhat). Mengingat kembali perjalananku dengan laki-laki yang pernah terlibat secara emosi denganku. Lebih dari sepuluh sepertinya. Dari sekian laki-laki itu, membawa pada kesimpulan yang sama; laki-laki sangat berpotensi membelah-belah ruang di hatinya untuk beberapa perempuan. Mereka bisa mencintai perempuan lebih dari satu. Aku bukan pelaku atau korban dari perselingkuhan. Selingkuh terjadi jika kedua belah pihak mengiyakan. Kesimpulan ini kutemukan pada dua laki-laki beristri yang pernah dekat denganku secara emosi (tidak melulu cinta yang ingin memiliki loh ya). Untungnya aku tidak terlarut dalam memainkan hati. Laki-laki cenderung mengikuti logika. Jarang laki-laki yang berhati patah lama. Ketika ia ditolak, penyembuhannya tidak se-lama perempuan. Aku membenarkan pendapat, "Laki-laki jatuh cintanya berkali-kali, namun kualitas perasaannya diragukan. Perempuan jarang jatuh cinta dan sekalinya jatuh cinta kesetiannya melebihi kecintaan pada dirinya sendiri." Memang Sang Mahacinta Menginginkan keseimbangan, dari sana tercipta kebutuhan antara lawan jenis itu.

Pergaulan dengan laki-laki juga mengenalkanku pada bermacam emosi. Cinta, benci, marah, maaf dlsb. Emosi itu menguat menjadi mental. Misal mental malas berawal dari marah (gagal melanjutkan hubungan). Merasa diri tak berguna, hidup sia-sia merupakan lintasan-lintasan emosi selanjutnya. Dan lambat laut mengenalkan pada sumber cinta; Tuhan. Meski aku tidak paham betul bagaimana mencintai Sang Mahacinta tsb. Kita skip dulu cinta yang satu ini.

Mencintai sesungguhnya bukan peran yang mudah. Cinta hanya layak disandang oleh mereka yang siap melayani dan memberikan ketulusan hati pada objek yang dicinta. Menurut guruku, aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk mencintai (pada lawan jenis). Iya, aku membenarkan beliau sementara ini. Karena mencintai sama dengan mawas diri untuk selalu bisa memilah mana nafsu mana ketulusan. Dan itu merupakan pekerjaan seumur hidup. Iya cinta dan emosi-emosi lainnya memang membutuhkan pemaknaan dan ketika makna telah menyatu dalam darah semoga Sang Mahakuasa menitipkan kelemahlembutan hati dan kejernihan pikir dalam menjalani perputaran hidup.

Cinta juga rawan keliru dalam mengekspresikannya. Inginnya mencintai objek eh malah mencintai diri sendiri. Misalnya dengan memaksakan kehendak. Pengamatanku ini sampai pada kesimpulan 'Menyamai dan membebaskan objek yang dicintai adalah sebenar-benarnya cinta.' sekali lagi butuh waktu seumur hidup untuk memahami hakikat cinta ini.


Tidak ada pilihan kecuali menyiapkan diri dengan baik, mengikuti norma lingkungan, memahami kehendak Tuhan lewat ajaran para nabi untuk menerima karunia berupa cinta. Karena cinta (sebagaimana pemberian kebaikan lainnya) merupakan hak Tuhan untuk membaginya pada siapa saja yang dikehendakiNya. Tentu hanya Dia Yang Mahatahu hati siapa yang siap menerima karunia-karuniaNya.  Kicauan burung tadi menyertakan doa semoga Allah menyatukan segera dengan pasangan jiwaku. Jika ada yang bertanya soal kesiapan hatiku pasti jawabnya, "Belum siap." Namun kebelum siapan itu akan menemukan jawabannya sendiri sebentar lagi. Insya Allah. Semoga Allah memberi kesempatan dan mempercayakan pada kita semua untuk merawat jiwa pasangan kita, menjadikan pasangan jiwa sebagai sahabat dekat dalam penghambaan padaNya. Dengan jalan keperpasangan ini semoga menjadi media untuk membenarkan tanda-tanda kekuasaanNya. Amin.

Rabu, 30 Januari 2013

Sebenarnya Merindumu



Maaf. Kalau aku diam, aku hanya tidak tahu harus berbuat apa. Alis hampir menaut, suara meninggi, mimik seram bukan kutujukan untuk membuatmu geram atas kebodohanku. tidak sekali lagi. Kau tahu aku padamu? Hanya aku tak pandai membuktikan perasaanku. Kau minta aku bicara, yang keluar ya kalimat-kalimat instruksi semua. Padahal di sini, hatiku, sedikit meragu memikirkan isi kepala dan dadaku.

Meragukanmu tidak. Hanya mengingat badanmu yang terluka, jiwamu yang memar. Kusempatkan memahami keadaanmu. Ada yang mendidih di ruang hatiku. Kok bisa kau selemah itu? Padahal kau yang lebih dulu tahu cara menghadapi masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Lengkap dengan keikhlasan di dalamnya. Begitu jahatnya kah kehidupan hingga membuatmu sedemikian terluka? Jahat lengkap dengan orang-orang yang di dalamnya. Tadinya kupikir aku pelindung sekaligus orang yang dapat kau andalkan dalam risalah yang menjadi tanggung jawabmu untuk kau sebarluaskan. Rupanya aku salah. Akulah yang justru membutuhkanmu. Tanpamu aku ini apa? Debu bahkan lebih elok. Ia berguna, menjadi alasan pemilik rumah untuk membersihkannya. Sedang aku? Masih mencari bertrilyun-trilyun alasan untuk tak sekedar bertahan di pusaran kehidupan. Pencarian pada titik kemanfaatan.

Pelan-pelan aku memahamimu. Bukan keputusan yang mudah untuk berhenti sejenak dari bangku kuliahmu. Pergi dari yayasan pasti sempat mengiris-iris batinmu kan? Penyakit yang Allah amanahkan padamu entah siapa yang harus belajar mengambil hikmah darinya. Kau, calon suamimu atau keluargamu? Jangan-jangan aku. Dzat yang dipanggil Tuhan itu ingin mengajarkan padaku, padamu, pada calon suamimu, pada keluargamu... Kalau hanya Dia Maha Penentu. Tak seorang pun dapat mempertanyakan kebijakanNya yang sekilas kelihatan tak bijak. Kekhawatiran itu lama-lama menepis tipis, kupaksakan meringis. Bagiku, sakitmu itu tidak akan pernah usai untuk kujelaskan. Diam, mendoakan kesehatan batin dan fisikmu begitu kuidamkan

Kau ingat si Jamila, gadis gendut yang ayu itu? Adik lelakinya kecelakaan. Jari manis dan tengahnya terenggut. Jamila begitu kelabakan, persis cacing kepanasan. Aku sedikit heran, adiknya yang kecelakaan mengapa ia yang hilang kesadaran? Sempat ia memaki Tuhan yang menunda kesenangan nasibnya, katanya. Aku tenang-tenang saja menghadapinya. Mau ikut kalut, khawatir ia merengut dan berakhir menjadi-jadi kebenciannya terhadap Tuhan. Kuingatkan bagaimana salatnya, kepatuhannya terhadap ajaran al-Qur’an. Ia jawab, “Jarang aku merambah al-Qur’an, kak.” Aku jadi memiliki alasan untuk mengingatkan kehambaannya pada Tuhan. Kukatakan lagi padanya. “Berhenti untuk menghijaukan atau menghanguskan rumput tetangga, dinda.”

Begini. Ketika melihat seseorang yang kita anggap hebat, sebenar-benarnya hebat bukan pura-pura hebat aku berani bertaruh ia tidak akan pernah merasa jika dirinya hebat. Kerendahan hati yang akan ditonjolkannya. Juga, orang yang kita anggap rapuh serapuh-rapuhnya seolah tak ada celah untuk berlabuh bahkan si rapuh itu juga menganggapnya demikian, boleh jadi kekuatan Tuhan akan dengan mudah bersemayam dalam dirinya. Sudah banyak contohnya atas thesisku ini. Banyak orang yang hanya hidup di alam batinnya tanpa mengkomunikasikannya dengan dunia luar. Aku salah satu dari mereka yang, acapkali tergoda hidup dalam dunia anggapan. Semoga aku, kau, sahabat-sahabat kita dapat belajar dari semua situasi dan keadaan. Kau bisa memahami apa yang kupikirkan ini? Sampai kemarin Jamila baik-baik saja, masih hobi tiduran di karpet meski sofa coklat melambai padanya. Semalam ia menjamu tamu, menggorengkan telor dadar. Syukurlah, ada jiwa kepedulian dalam dirinya yang lambat laun akan membesar menjadi sebuah pehamanan akan takdir Tuhan

Si Yuni masih sama. Moody masih menempati jiwanya. Namun tak separah dulu. Belakangan ini ia banyak diam dan mengalahnya. Adikmu yang kelimpungan memahaminya. Lalu kusampaikan pada adikmu jangan pernah bermimpi memahami Yuni secara utuh, kalau tidak ingin pikiran dan hatinya melepuh. Aku tidak pernah mengkhawatirkan Yuni secara berlebihan. Yuni telah melalui beragam takdir pahit dalam hidupnya. Tidak ada tempat berlari untuknya kecuali pada rengkuhan Tuhan. Uniknya ia telah membuktikan dari perilakunya yang sudah semakin baik. Dari cara ia menjaga kebersihan yayasan, tanggung jawab itu mulai muncul. Membaur sudah dilakukannya terhadap tamu baru. Ia lihai menggantikan posisi sementaramu. Telah tertanam dalam hatinya risalah-risalah yang kita pelajari bersama. Bagaimana aku meragukan ketangguhan Yuni melihat itu semua? Tidak ada keraguan sedikitpun ia akan membabi buta lari dari kehambaannya. Kalau toh ia gila, ya begitu caranya bermesraan dengan Tuhan. Kalau ia mati, ya memang sudah selesai tugas kehambaannya. Tinggal konsekuensi perilakunya yang akan ia pertanggung jawabkan kelak. Kau bisa mengerti maksud pasrahku kali ini?

Banyak sekali yang tak kupahami di dunia ini. Dari sana aku belajar memaklumi dan menyerahkan sesuatu yang tidak menjadi urusanku pada Tuhan. Selesai. Semoga kesehatan jiwa dan badanmu makin membaik ya, amin. Sampai di sini dulu ceritaku tentang yayasan yang kita cintai dengan diam-diam dan kita ekspresikan perasaan itu melalui perbuatan. Jaga diri baik-baik ya. Love you.

Jumat, 25 Januari 2013

Jalan Kembali


Syahdan. Seorang laki-laki mendatangi majlis Rasulullah saw. Ia berkata, “Duhai, kekasih Allah… Aku bertanya pada Anda. Apakah Allah akan mengampuniku?” Dari bau pertanyaannya, ia mengalami kejadian yang tidak biasa. “O tentu, pak. Allah itu Maha Pengampun.” Rasulullah menangkap kegelisahan pemuda itu. “Aku khawatir Allah tak Mengampuniku.” Lanjut laki-laki itu dengan wajah tertunduk. “Ketahuilah, pak, ampunan Allah melebihi apapun di dunia ini.” Rasulullah masih tersenyum mengamati wajah merunduk itu. “Tidak. Dosaku melebihi apapun yang ada di dunia.” Suara laki-laki itu mengecil, lirih tak bertenaga. Seperti wajahnya yang tak lagi memiliki cahaya harapan. Rasulullah terdiam, sementara para sahabat Nampak geram mendengar pengakuan laki-laki itu. Dosa macam apa gerangan yang lebih besar dari ampunan Allah.

Laki-laki itu menarik diri dari kerumunan. Ia sudah tak peduli lagi dengan anggapan orang. Juga, pikirannya melayang-layang tak karuan. Memang ada penyesalan luar biasa di benaknya. Pikirnya, ia tak pantas menerima ampunan atas apa yang telah dilakukannya. Rasulullah mengikuti laki-laki itu dari belakang. Khawatir terjadi keputusasaan yang berujung pada penganiayaan diri. Rupanya laki-laki itu memasuki gua. Rasulullah masih menanti tindakan apa yang hendak dilakukan laki-laki itu berikutnya. Laki-laki itu mengikatkan diri pada sebuah tali. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin ia ingin mengakhiri hidupnya.

“Bapak kenapa sih ya?” Rasulullah mendekat. Wajah teduhnya menjadi penerang gua itu. Sementara yang ditanya gemetar tak tahu menjawab apa. Pelan tapi pasti Rasulullah melepas tali yang melilit si laki-laki. “Tolong, pak, cerita apa kegundahan bapak. Aku ini diutus untuk menebar kedamaian, menghantar pemaafan. Bukan mencipta kehororan, menghembus kekhawatiran, membesarkan keputusasaan.”

“Begini, Rasulullah. Aku naksir berat sama perempuan. Semasa hidup aku tidak berhasil mendekatinya. Kemarin perempuan itu wafat. Kugali kuburnya. Kuzinai dia. Setelah puas, kubiarkan ia begitu saja.”

“Lalu...” Ia melanjutkan kalimatnya, “beberapa langkah aku meninggalkan mayat perempuan itu, aku mendengar tangisan dan sesalan.”

“Dosa apa aku ini, mas, hingga mas tega melakukannya padaku."
“Rasul, perkataan mayat perempuan itu menyayat. Aku tak peduli lagi dengan laknat. Namun kesakitan mayat perempuan itu… Dengan apa aku menghiburnya, ya Rasululllah?”

Ini bukan soal perang, jalan akhir dari sebuah kesepakatan. Tidak membutuhkan kekerasan untuk memberikan pemahaman. Laki-laki itu beruntung, mendapat nasehat langsung dari sebaik-baik ciptaan.

“Allah itu Jatuh Cinta pada orang-orang yang menyesali perbuatannya. Allah lebih Girang dari seorang musafir padang pasir yang tertidur kelelahan lalu ketika bangun ia tidak mendapati lagi bekal dan kudanya. Padahal ia baru sedikit menempuh perjalanan. Tak ada lagi yang dapat menolong musafir itu.  Ia mencari ke sana- kemari namun nol. Bekal dan kuda itu seolah di telan bumi. Penat, dahaga menyerang si musafir. Ia kembali tertidur. Ketika terbangun ia mendapati bekal dan kudanya telah di sampingnya. Kontan ia berucap, “Allah, Engkau hambaku dan aku tuhanMu.” Saking girangnya musafir itu salah berucap, pak. Itulah perumpaan taubat. Allah lebih Menyukai hambaNya kembali padaNya daripada kegirangan musafir tsb sebab kembalinya bekal dan kudanya.
***

Kisah kedua. Kali ini lebih ekstrim dari badai salju sekalipun. Alkisah. Seorang bapak-bapak mendatangi kiai dan menyampaikan pengakuan dosa,

“Pak Kiai, apa masih ada kesempatan untukku kembali? Aku telah membunuh 99 orang. Berzina, merampok sudah biasa. Gimana menurut Kiai?”

“Pak, kau berdosa besar. Tidak ada tempat kembali untuk…” Sang Kiai belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pedang bapak-bapak itu sudah menembus lehernya. Genaplah 100 orang yang ia bunuh. Memang, ia bukan orang yang penuh basa-basi. Membunuh baginya sudah menjadi profesi. Saat ini visinya hanya satu. Meminta nasehat bagaimana cara meminta ampunan Allah. Ia mendengar ada seorang kiai bijak nan jauh di sana. Kiai itu didaulat dapat menyelesaikan segala jenis persoalan dengan baik. Bapak-bapak itu menemui dan mencari sang kiai. Di tengah perjalanan tiba-tiba ia wafat. Kontan malaikat penjaga neraka merebut jasadnya untuk diberi ganjaran. Tidak berhenti di situ. Terjadi perebutan antar malaikat. Rupanya malaikat penjaga surga juga memiliki misi yang sama. Merebut bapak-bapak itu. Jalan buntu. Tidak ada kesepakatan. Lalu datanglah malaikat hakim, ia berdalih,

“Coba mari kita ukur langkah kaki bapak ini. Kalau jaraknya lebih dekat pada kiai yang dituju daripada kiai yang dibunuhnya berarti malaikat penjaga surga berhak membawanya. Namun jika sebaliknya, malaikat penjaga neraka yang memenangkannya.” Mengukur jarak dimulai, akhirnya bapak-bapak itu lebih dekat jaraknya pada kiai yang dituju.

Dear kawan-kawan, aku mendengar dua kisah itu dari Prof. Nasaruddin Umar pada Minggu pagi. Beliau mengisi acara di salah satu stasiun televisi. Semacam acara semi tasawuf gitu, karena yang dibahas persoalan akhlak dan seputarnya. Masing-masing dari kita pasti pernah melakukan kesalahan kecil atau besar. Kita sendiri yang mengetahui jalan mana yang hendak kita pilih untuk kembali.

Sesungguhnya alasan menghadirkan kedua kisah di atas adalah… Aku melakukan sebuah kesalahan. Merasa memiliki jiwa mandiri, kuangkatlah kursi yang lebih besar daripada aku. Kursi itu menimpa hardisk dan penyok. Meja kantor bopel-bopel. Menyesallah aku. Belajar pada dua kisah di atas, insya Allah aku akan memikirkan cara ‘kembali’ atas kesalahanku. Servis atau bahkan mengganti (doakan ya semoga bosku memahami keuanganku. Paling nyicil deh yang bisa aku lakuin). Nggak parah sih, pinggir meja doang yang bopel, toh hardisk itu udah sepekan lalu nggak bisa nyala. Astaga aku mencari alasan lagi, kapan bisa ‘kembali’ kalau gitu. Insya Allah ke depannya aku berangkat ke kantor lebih awal lagi untuk mempelajari apa-apa yang akan memajukan perusahaan ini. Lebih sering lagi menasehati diri semoga menjadi pribadi yang baik hati dan dimudahkan Allah berkomunikasi dan melayani orang lain dengan hati.  Amin dengan hati.

Senin, 07 Januari 2013

Mati, Lahir dan Lahir, Mati

Aku belum tahu ke mana muara ide postingan kali ini. Mengapa pula judul Mati, Lahir dan Lahir Mati menjadi pilihan. Aku tak tahu. Sungguh. Ketidaktahuan tsb merajalela, merembet, menjalar pada pertanyaan-pertanyaan aneh yang kian tidak kupahami. Sebentar-sebentar limbung, kemudian semangat. Selalu seperti itu. Hampir gila rasanya kala sengaja memikirkan semua itu.

Kemarin lusa merupakan waktu tepat untuk murka, seharusnya. Melihat lelaki kecilku berambut gondrong, inisiatif untuk mampir ke salon muncul dari kepala. Dengan diam-diam tentu. Lelaki kecilku ini keras kepala. Anehnya aku merasa tidak semua keluarga menjadi sasaran keras kepalanya. Pada ibunya dan padaku saja ia menunjukkan sisi lain dari sifatnya itu. Menurutku, jika seseorang menunjukkan sisi lain dari dirinya pada kita, itu menyimpan makna. Bahwa seseorang itu sangat yakin kita bisa memakluminya, atau ia tahu betul bahwa perasaan mendalam kita akan dapat memaklumi kekurangan-kekurangannya, atau cinta kita lebih besar dari marah kita padanya.

CintaNya mendahului MurkaNya. Cinta ibu sepanjang masa. Tuhan merupakan Pecinta teragung yang pernah ada (mengenai cintaNya insya Allah akan segera kuposting). Ibu satu-satunya pecinta tulus dari golongan manusia. Namun tidak menutup kemungkinan ada pahlawan-pahlawan cinta yang tersebar di muka, belakang, samping kanan dan kiri di bumi.

Kemungkinan pahlawan cinta itu adalah aku (uhuk, uhuk, uhuk. Wuek. Sambil batuk ya). Bagaimana tidak? Sebelum pergi ke salon imajinasi ke sana telah kuikhtiarkan. Salon sepi, paling tidak mengantri satu orang saja. Imajinasiku. Allah Menyetujui, tak satu pun makhluk bertengger di salon. Tidak memberitahu lelaki kecilku atas rencanaku, merupakan tak-tik licikku mengingat ia begitu susah untuk menyetujui rambut kesayangannya dipangkas

Aku belum beruntung, lelaki kecilku betul-betul tidak mau berkompromi. Merayu emosiku sendiri adalah suatu keharusan. Pikiran melayang pada tujuan selanjutnya. Bersenang-senang ke Game Zone di salah satu mall yang banyak bertebaran di pinggiran Jakarta. Kalau aku marah pada lelaki kecilku sama saja merusak niat senang-senang yang, telah kuniatkan. Selamat untukku!!! Melunaklah emosiku. Terpujilah diriku. Semoga Allah selalu merahmati nafsu amarahku. Amin.

Murka itu kembali merayu. Saat perabot yang, menurut rizkiku sementara ini, mahal. Gajian bulan pertama aku membelinya. Empat toples warna unyu-unyu. Beberapa saat lalu aku menyempatkan diri salat taubat, Qs. Alu Imran ayat 133-135 menjadi demikian faforit di rakaat pertama dan kedua. Usiaku semakin senja, mau tidak mau ya wajib memikirkan jalan pulang menuju surga yang, asal muasalku. Kita semua imigran toh di dunia ini.

Mengulang hafalan al-Quran tiga tahun lalu. Kupilih meja makan sebagai tempat muraja'ah yang, berada di dapur. Sengaja memang. Mengusir Tikus yang saling berkejaran. Supaya mereka pulang awal dari dapurku. Satu surat selesai. Mata tertuju pada toples paling ngejreng di antara yang lain. "Oh my... Toples mahalkuuuh!!! Mengapa tutupnya jadi berantakan bekas gigitan begituuuuuh???? Tidaaaaak!!!!" Teriakku dalam hati. Hanya itu. Keren kan!

Selanjutnya aku membersihkan kamar tidur, ruang tengah dan dapur. Ada kotoran Tikus tersebar di tiga ruang itu. Di kursi, kompor, rak perkakas. Seketika imajiku terbang ke masa 14 abad silam. Kira-kira perasaan Rasulullah seperti apa ya sewaktu orang Yahudi melempar kotoran unta ke muka beliau? Sama dengan perasaanku pada kotoran Tikus nggak ya? Aku memang tidak pernah akan tahu perasaan Rasulullah saat itu, namun sirah nabawi memberitahu Rasulullah mencari pelempar kotoran itu ketika ia tidak lagi melaksanakan tugasnya. Malah Rasulullah mendoakan, kala beliau tahu si pelempar kotoran sebentar lagi meradang ruhnya.

Haruskah aku mendoakan Tikus? Sudah kumunajatkan saat-saat beberes tadi. "Ya Allah, tolong aku berlindung padamu dari godaan Tikus yang terkutuk. Al-Fatihah, amin." Tak lupa dalam munajat itu kulafalkan semoga Allah mengampuni dosa-dosaku. Barangkali membersihkan kotoran Tikus Allah jadikan sebagai media penebus dosaku yang entah setinggi apa. Aku akan merindukan Tikus-Tikus itu suatu saat nanti, ketika ia tak lagi bercinta dengan sesamanya di dapurku. Aku akan segera MENGUSIR MEREKA! DENGAN MENUTUP AKSES MASUK. TIDAK DENGAN RACUN. Terpujilah niat baikku. Amin.

Aku tidak akan pernah mengetahui cara Allah menguji coba keimanan, keislaman dan keihsananku. Bisa lewat Tikus, pujian, penolakan atau apapun. Semakin aku memikirkan ujian itu, semakin tipis rasa percaya diriku. Tak peduli mau mati lahir, lahir mati dan dibangkitkan kembali. Yang aku tahu dalam proses ketidaktahuanku, semoga Allah memampukanku untuk melihat kebaikan dan keberkahan di dalamnya. Insya Allah tak akan ada lagi 'kenapa' dalam proses perayuan akal dan hatiku untuk memahami tanda-tanda yang Allah sebarkan di sekitarku. Semoga Allah menitipkan suaraNya, pendengaranNya, kakiNya, tanganNya pada perangkat lunak berupa akal dan hati yang Dia amanahkan padaku. Menuju rumah asal di akhirat kelak. Terpujilah aku eh Aku, heheheh. Amin deh.

Kamis, 03 Januari 2013

Malang Mengisahkan Beragam Pelajaran (1)

Ada quote lama, "Kemuliaan orang tua otomatis akan memuliakan anak-anaknya." sebagai contoh, putra seorang Kiai akan dimuliakan santri-santrinya. Tidak peduli jenis Kiainya. Kiai Panggung, Kiai Politik, Kiai Karbitan, Kiai Selebritis, Kiai mbeling dan masih banyak lagi.

Quote gresnya, "Keikhlasan seorang guru akan memuliakan murid-muridnya." Ini terjadi padaku selama sepekan di Malang, Jawa Timur. Takdir telah menyapa, aku enggan bertanya sebabnya mengapa aku terpilih dlm kafilah spiritual ini. Sasaranku adalah mengumpulkan pelajaran bermakna yg terserak utk direnungkan, ditiru. Yg lain, gut bai...

Sebab akibat merupakan salah satu hukum alam yg Allah tetapkan utk menjaga keteraturan di muka bumi. Kalau mau berdiskusi sebab akibat sebaiknya tidak dlm kesempatan ini, lain kali aja ya. Ngeles, kisanak! (contoh ketidakmampuan yg dialihkan pd pencitraan berilmu. Padahal sangat mumet dgn hukum sebab akibat).

Guruku adalah orang yg tidak meminta imbalan dr siapapun dlm hal apapun, termasuk proses pentransferan ilmu pd anak didiknya di Motivator School of Kahfi, sebuah institusi pendidikan setara dgn d3. QS. Yasin ayat 21 mengatakan, "Ikutilah orang yg tidak meminta upah pdmu. Mereka adalah orang-orang yg mendapat petunjuk." Ayat itu gambaran dr sosok guru kami, insya Allah.

Kasus pencurian emas 6 Kg milik penguasaha di Matos (Malang Town Square) 2011, mempertemukan tali kasih selama 17 tahun terpisah. Antara guruku dan keluarganya di Malang. Rupanya guruku adalah anak angkat dr ayah pengusaha tsb. Allah tak kurang cara ketika berkehendak. Kasus pencurian tsb adalah sebab ikhtiar guruku utk menyambung kembali rajutan silaturahmi. Yg terjadi, terjadilah. Allah mengijinkan guruku utk menguak misteri pencurian itu dgn media Hypnosis. Berhasil alhamdulillah. Akibatnya silaturahmi merajut, salah satunya kunjungan kami selama sepekan di Malang.

Kami bertiga belas. Empat di antaranya guruku dan keluarganya, sisanya aku dan teman-teman. Biaya transportasi ditanggung keluarga pengusaha tsb. Tiba di stasiun Malang. Mobil-mobil merk Jepang melambai seperti di film Cars utk mengantar kami di tujuan. 15 menit kemudian mobil-mobil merk Jepang memarkir di rumah megah bernuansa pondoh indah. Rumah putri pertama ayah angkat guruku.

Namanya bu F. Cantik, bicaranya blak-blakan, perokok. Hidung dan dagunya terkesan tidak asli. Mata kasatku menaruh curiga, seperti ada unsur siliconnya. Allah Allah, aku Engkau suruh belajar apa dgn manusiaMu yg mirip Merryl Strep ini.
Sarapan terhidang. Sekalian akan aku ceritakan betapa kembungnya perut ini dgn bermacam menu, selama sepekan. Buah-buahan, roti bermerk luar negeri, bakso goreng, kwe tau, bebek, rawon, sup ceker, udang, tempe merupakan menu yg bisa kurekam dlm memori. Aku bukan pengingat yg baik, apalagi daftar nama-nama makanan. Pelayanan hidangan bu F berhasil mengembungkan perut yg tidak terbiasa teratur dlm memproduksi kebutuhannya. Roti Maryam cukup terkenal di keluarga ini. Intinya keluarga bu F menjamu kami dgn sangat baik.

Sabtu, aku dan teman-teman piknik ke Selecta. Dua putra guruku ikut bersama kami. Tiap dr kami mendapat amplop tak bernama, dr bu F. Mau tahu berapa isinya? Nggak usah ah. Pokoknya ada beberapa lembar kertas warna merah dan biru. Biaya tiket masuk juga gratis, dr bu F. Di Selecta terjadi peristiwa yg mengesankan. Ketika aku menunggu dua putra guruku berenang. Jiwa ibu-ibu eh keibuanku memenuhi batin terdalamku. Meski di Selecta terdapat bunga warna-warni tapi aku lebih memilih mengamati dua putra guruku megap-megap di kolam renang. Selecta ya selecta. Kalau nggak salah pernah digunakan syuting film artis Widiawati-Sophian Sophan dan atau Rhoma Irama-Rika. Aku kelahiran tahun berapa ya, kenapa memoriku mengarah pd artis 80-an coba.  Sambil menunggu, telingaku meradar suara lelaki merdu. "Pasti tampan dan muda." Bisik akalku dan ia menyuruhku utk mencari sumber suara. Ah. Bapak-bapak.
Selayaknya suara, kata-kata jg mampu menyihir pembaca. Padahal belum tentu penyair hidupnya seromantis puisi atau prosanya. Atau seorang penulis boleh jadi belum berakhlak seperti kalimat positifnya. Ah tapi itulah kata, ia akan lain dan tak lagi menjadi milik penulisnya.

Malamnya, kami diajak nonton film Habibi-Ainun di Matos. Tidak ada tangisan di mataku. Padahal mata teman-teman perempuan di sampingku, telah menganak sungai. Mungkin aku iri dgn kisah cinta dlm film itu (eh na'uzubillah eh). Tapi sepertinya tidak. Um sebelum nonton aku ingin pipis tp kebancianku menahannya. Nah pipis ini biang keladi penahan air mataku. Mungkin. Dr awal ikut perjalanan ini memang kuniati utk taat pd guruku, sampai aku takut ke toilet. Khawatir menghilang dr Matos dan menciptakan gusar di hati tuan rumah. Aku geli mengingat kepengecutanku ini. Kok bisa penguasa jalanan Jakarta dan sekitarnya menahan pipis. Taat pd guru atau memang betulan pengecutnya. Ah nggak jelas. Film usai baru aku teriak pengen pipis.

Dan putra kedua dr bu F yg bernama mas A menawarkan diri utk mengantarku. Dia setia menunggu hingga tuntas hajatku. Wow sekali utk ukuran anak dr bos emas yg merk sepatu Italia tidak begitu diperhatikan di rumahnya. Masya Allah akhlaknya utk anak orang kaya yg seusianya. Bicaranya santun, berkelas dan tidak mengangkat dagu. Malah diri ini tidak merasa dia org kaya loh. Lagi-lagi mobil merk Jepang mahal dan besar hadir di kepalaku. Mas A juga. Bergantian dgn sangat lambat.

Sedikit meresensi film Habibi-Ainun. Um aku terkesan dgn akting mas Reza sbg Habibi, mirip sangat. Aku tidak begitu kenal dgn sosok Ainun, akting BCL ya tidak jauh dr serial FTV. Aku lebih tertarik pd kisah cinta dlm film the End of the Affair. Bendrix (diperankan Ralph Rienes) jatuh hati pd istri sahabatnya, Sarah (diperankan Julianne Moore). Singkat kata terjadi perselingkuhan, namun berakhir dgn pemaafan dr sang suami (Stephen Rea berperan sbg birokrat jg) dan memasrahkan istri pd selingkuhannya. Padahal suami betul-betul mencintai istri kesepian yg berpenyakit itu. Si istri juga amat mencintai selingkuhannya. Meski mas Bendrix lumayan keras kepala namun cintanya pada Sarah tiada duanya, bahkan cinta suami mbak Sarah sekalipun. Konflik mencuat namun mereka bertiga memiliki hati samudera.

Dlm dunia tasawuf, jika seorang lelaki betul-betul merasa dirinya milik umat ia akan meminta kerelaan dr keluarganya supaya melepaskannya. Abu Yazid al-Bisthami meminta keikhlasan ibunya utk mengembara. Dgn tujuan ia tak lagi merasa bersalah pd sang ibu, sebab kewajibannya tidak ia penuhi sbg anak. Hanya ibu yg berhati samudera saja yg bisa melakukannya.

Jauh sebelum itu Nabi Khidr memelopori utk meninggalkan segala macam tawaran dunia. Konon Nabi Khidr adalah putra mahkota. Ayahnya menginginkan supaya Nabi Khidr menikah. Pernikahan berlangsung, sang istri tidak kunjung hamil. Perceraian merupakan pilihan. Disusul pernikahan kedua. Sama. Tanda-tanda kehamilan tak nampak. Usut punya usut Nabi Khidr memang tidak pernah menghubungi badan kedua istrinya (mempertemukan dua jenis kelamin maksudku... Penting utk memperjelas, heheheh). Dengarlah kisah-kisah seputar Nabi Khidr. Ia memang Allah takdirkan sbg pengelana dunia, menemui siapa saja yg di hatinya telah bersemai keikhlasan. Lagi-lagi aku tak perlu menambah deretan kalimat utk mengisahkan kesamuderaan hati Nabi Ibrahim, bunda Hajar dan Nabi Ismail dlm kisah cinta mereka.

Nampaknya mas Anung memang belum berhasil memotret kisah cinta Habibi-Ainun. Aku malah mengingat sponsor-sponsor yg ditampilkan secara kasar di beberapa adegan film. Sponsor kosmetik, kartu tol, camilan bahkan minyak penghangat hidung. Kemungkinan kisah cinta Habibi-Ainun akan menjadi 'sesuatu' jika digarap sutradara Holliwood, Bolliwood atau Korea. Ketiga industri film tsb biasanya dapat memainkan perasaan penonton dgn mudah.

Kalau memang kisah cinta Habibi-Ainun seperti dlm film, sungguh itu biasa-biasa saja. Habibi dlm film itu adalah laki-laki romantis yg bisa membagi waktu, artinya Ainun tdk ditinggal selingkuh dgn perempuan lain. Bukankah perselingkuhan atau poligami hal terberat di benak perempuan? Manapun. Habibi juga suami romantis nan perhatian. Ainun senantiasa di hatinya meski urusan negara berjibaku. Tapi lagi-lagi aku mencurigai mas Anung yg belum berhasil menyertakan ruh cinta Habibi-Ainun. Terbukti di akhir cerita sempat nafasku tertahan mendengar kesedihan pak Habibi betulan sambil memegang nisan bu Ainun.

Begini caraku mengapresiasi karya anak bangsa. Padahal ya aku ikut kuliah media film saja tidak nyantol-nyantol ilmunya. Oia curhat. Sedikit berharap semoga kisah cintaku bersama suami nanti... Beliau mau mengkramasi rambut kepalaku. Yup, aku suka lupa (tepatnya agak malas keramas). Keramas nunggu rambut gatal saja. Heheheh.

Eh udah dulu. Insya Allah ada lanjutannya, aku mendapat banyak pelajaran selama di Malang. Makasih telah menyempatkan membaca. Makasih, makasih...