Sudah lama aku tak menulis panjang. Betul kata sebagian
orang, bahwa menulis adalah metode penyembuhan diri dari sakit mental. Dulu aku
menulis karena mencari ketenangan, jodohku kok tak datang-datang. Tuhan lupa
Memberiku jodoh atau bagaimana. Dari sana aku menggelisah dan mencari obat
melalui rangkaian kalimat-kalimat panjang. Terpujilah Tuhan Sembilan bulan terakhir
ini aku agak lupa akan kesedihan. Suamiku yang unyu-unyu menawarkan kebaikan
yang sedemikian rupa tapi yang namanya manusia boleh jadi di balik bahagianya
menunggu kehancuran atau malah mengundang nikmat-nikmat Tuhan yang akan datang.
Semua itu tergantung pilihan.
Sebetulnya, di balik kebahagiaan yang kusyukuri terselip
kecemasan. Kalau sudah galau begitu, tiduran seharian menjadi ramuan yang
menggiurkan untuk bermalas-malasan. Jadi dapat dikatakan, orang yang lebih
banyak tiduran dan bermalas-malasan berarti dia memiliki kekhawatiran dan tidak
tahu apa yang harus dilakukan untuk meredamnya. Lebih jauh lagi, bila malas
dikaitkan dengan ketiadaan syukur akan masa kini, maka orang yang mengidap
malas akan menyukai hidup di masa lalu dan masa datang.
Tidak setiap orang mampu hidup di masa kini. Orang-orang itu
lebih memilih dengan hidup di masa lalu dan masa depan. Mengingat kegagalan
adalah bukti kehidupan masa lalu. Kehidupan itu menawarkan bermacam emosi-emosi
negatif. Seperti mudah tersinggung, hingga ada ungkapan, “Orang yang mudah
tersinggung adalah dia yang memiliki harga diri yang rendah.” Hanya pelaku yang
dapat mengidentifikasi, mengapa ia mudah tersinggung. Apakah masa lalunya yang
suram, sampai ia tidak menemui kenyamanan, penghargaan dan kasih sayang dari
keluarga atau lingkungan ia tinggal. Atau ia pernah mengalami pelecehan mental
dlsb. Hanya dia yang mampu mengurai benang kusut itu. Maaf adalah jalan terbaik
utk berdamai dengan suramnya masa lalu tersebut.
Masa lalu menawarkan pula kebanggaan. Banyak juga orang yang
senang berlama-lama di sana, hingga ia lupa dengan pencapaian-pencapaian
kininya. Atau kesombongan telah menjadi kawan akrabnya. Tapi tidak melulu harus
kebanggaan yang menjadi pemicu seseorang untuk betah menghuni masa lalunya,
hingga ia mengidap kesombongan. Kegagalan juga berperan untuk meracuni kerasnya
hati seseorang. Ngeri ya bila hal itu terjadi pada kita. Astaga. Tidak ada yang
dapat dibanggakan dengan masa lalu, juga tidak ada guna mengingat luka batin
yang ada di dalamnya. Sebaik-baik dan seburuk-buruk masa lalu tidak akan pernah
kita tinggal di dalamnya. Bila kita senang melaluinya secara terus menerus,
kerugian yang akan menimpa. Rugi waktu, tenaga dan kesempatan untuk menjadi
lebih baik.
Masa depan juga tidak kalah bahayanya, bila kita kerap
menengok dan menghiasinya dengan mimpi-mimpi yang tidak kita imbangi dengan
upaya serius untuk mencapainya. Rajin menciptakan impian adakalanya memang
memberikan semangat hidup, namun bila sekedar memimpikan ya justru akan
mengundang kebancian dalam menghadapi tantangan hidup. Bagaimana tidak? Kita lebih
sering menciptakan mimpi daripada menjemputnya. Haram melarang seseorang bermimpi,
karena dari sana peta kehidupan dimulai untuk menemukan sumber dari sumber dari
kekayaan di dunia ini. Namun hal itu seyogyanya diimbangi dengan akhlak-akhlak
baik yang dilakukan pada masa kini. Karena ada uangkapan, “Takdir kita sekarang
ini adalah kelakuan-kelakuan kita beberapa tahun lalu dan takdir kita beberapa
tahun yang akan datang adalah upaya-upaya kita sekarang.”
Masa kini. Ia merupakan senjata paling ampuh untuk memahami
kemauan alam dan Tuhan. Selamat kepada mereka yang mampu memilih hidup di masa
kini. Hidupnya sebatas kini, ia akan melakukan hal-hal terbaik karena ia
menganggap hari ini adalah hari terakhirnya. Toh kalaupun ia memiliki impian di
masa depan, ia akan tetap hidup di kekiniannya. Contoh, bila ia memimpikan
bertemu Tuhan, ia akan mempertebal keyakinannya dengan mematuhi suruhan Tuhan
dan menjauhi apa yang dibenciNya. Mulai mencintai apa yang Tuhan cintai dan
bila ada kebencian bukan atas kepentingannya sendiri tapi atas semangat
ketuhanan. Yaitu membenci perilakunya bukan pelakunya.
Apa yang kucemaskan hingga lahir kesadaran untuk
menjadikannya sebuah tulisan? Masya Allah, sebaiknya aku salat maghrib, masak
nasi dan mandi dulu. Suamiku sebentar lagi pulang. Wallahu a’lam untuk tulisan
yang tak selesai ini. Semoga ada kemanfaatan bagi pembaca yang menyempatkan
menelusuri kalimat-kalimatnya.
Sangat menginspirasi, Ning! reflektif yang luar biasa :)
BalasHapus