Rabu, 08 Januari 2014

Masa

Sudah lama aku tak menulis panjang. Betul kata sebagian orang, bahwa menulis adalah metode penyembuhan diri dari sakit mental. Dulu aku menulis karena mencari ketenangan, jodohku kok tak datang-datang. Tuhan lupa Memberiku jodoh atau bagaimana. Dari sana aku menggelisah dan mencari obat melalui rangkaian kalimat-kalimat panjang. Terpujilah Tuhan Sembilan bulan terakhir ini aku agak lupa akan kesedihan. Suamiku yang unyu-unyu menawarkan kebaikan yang sedemikian rupa tapi yang namanya manusia boleh jadi di balik bahagianya menunggu kehancuran atau malah mengundang nikmat-nikmat Tuhan yang akan datang. Semua itu tergantung pilihan.

Sebetulnya, di balik kebahagiaan yang kusyukuri terselip kecemasan. Kalau sudah galau begitu, tiduran seharian menjadi ramuan yang menggiurkan untuk bermalas-malasan. Jadi dapat dikatakan, orang yang lebih banyak tiduran dan bermalas-malasan berarti dia memiliki kekhawatiran dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk meredamnya. Lebih jauh lagi, bila malas dikaitkan dengan ketiadaan syukur akan masa kini, maka orang yang mengidap malas akan menyukai hidup di masa lalu dan masa datang.

Tidak setiap orang mampu hidup di masa kini. Orang-orang itu lebih memilih dengan hidup di masa lalu dan masa depan. Mengingat kegagalan adalah bukti kehidupan masa lalu. Kehidupan itu menawarkan bermacam emosi-emosi negatif. Seperti mudah tersinggung, hingga ada ungkapan, “Orang yang mudah tersinggung adalah dia yang memiliki harga diri yang rendah.” Hanya pelaku yang dapat mengidentifikasi, mengapa ia mudah tersinggung. Apakah masa lalunya yang suram, sampai ia tidak menemui kenyamanan, penghargaan dan kasih sayang dari keluarga atau lingkungan ia tinggal. Atau ia pernah mengalami pelecehan mental dlsb. Hanya dia yang mampu mengurai benang kusut itu. Maaf adalah jalan terbaik utk berdamai dengan suramnya masa lalu tersebut.

Masa lalu menawarkan pula kebanggaan. Banyak juga orang yang senang berlama-lama di sana, hingga ia lupa dengan pencapaian-pencapaian kininya. Atau kesombongan telah menjadi kawan akrabnya. Tapi tidak melulu harus kebanggaan yang menjadi pemicu seseorang untuk betah menghuni masa lalunya, hingga ia mengidap kesombongan. Kegagalan juga berperan untuk meracuni kerasnya hati seseorang. Ngeri ya bila hal itu terjadi pada kita. Astaga. Tidak ada yang dapat dibanggakan dengan masa lalu, juga tidak ada guna mengingat luka batin yang ada di dalamnya. Sebaik-baik dan seburuk-buruk masa lalu tidak akan pernah kita tinggal di dalamnya. Bila kita senang melaluinya secara terus menerus, kerugian yang akan menimpa. Rugi waktu, tenaga dan kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Masa depan juga tidak kalah bahayanya, bila kita kerap menengok dan menghiasinya dengan mimpi-mimpi yang tidak kita imbangi dengan upaya serius untuk mencapainya. Rajin menciptakan impian adakalanya memang memberikan semangat hidup, namun bila sekedar memimpikan ya justru akan mengundang kebancian dalam menghadapi tantangan hidup. Bagaimana tidak? Kita lebih sering menciptakan mimpi daripada menjemputnya. Haram melarang seseorang bermimpi, karena dari sana peta kehidupan dimulai untuk menemukan sumber dari sumber dari kekayaan di dunia ini. Namun hal itu seyogyanya diimbangi dengan akhlak-akhlak baik yang dilakukan pada masa kini. Karena ada uangkapan, “Takdir kita sekarang ini adalah kelakuan-kelakuan kita beberapa tahun lalu dan takdir kita beberapa tahun yang akan datang adalah upaya-upaya kita sekarang.”

Masa kini. Ia merupakan senjata paling ampuh untuk memahami kemauan alam dan Tuhan. Selamat kepada mereka yang mampu memilih hidup di masa kini. Hidupnya sebatas kini, ia akan melakukan hal-hal terbaik karena ia menganggap hari ini adalah hari terakhirnya. Toh kalaupun ia memiliki impian di masa depan, ia akan tetap hidup di kekiniannya. Contoh, bila ia memimpikan bertemu Tuhan, ia akan mempertebal keyakinannya dengan mematuhi suruhan Tuhan dan menjauhi apa yang dibenciNya. Mulai mencintai apa yang Tuhan cintai dan bila ada kebencian bukan atas kepentingannya sendiri tapi atas semangat ketuhanan. Yaitu membenci perilakunya bukan pelakunya.

Apa yang kucemaskan hingga lahir kesadaran untuk menjadikannya sebuah tulisan? Masya Allah, sebaiknya aku salat maghrib, masak nasi dan mandi dulu. Suamiku sebentar lagi pulang. Wallahu a’lam untuk tulisan yang tak selesai ini. Semoga ada kemanfaatan bagi pembaca yang menyempatkan menelusuri kalimat-kalimatnya.

  

1 komentar: