Dua lusin popok, satu lusin kaos pendek, satu lusin gurita,
delapan buah celana panjang, enam buah celana pendek, lima buah kaos panjang,
tiga buah celana legging, dan tiga kain bedong. Perlengkapan bayi yang sudah
kujemur, sebelumnya kucuci, kubilas, kuberi molto, dan terakhir kujemur. Lupa,
entah berapa salawat yang kuucap di hati ketika proses itu berlangsung. Lantunan
salawat sebanyak jumlah perlengkapan bayi tadi. Tiap proses ada gumaman
salawatnya, dalam batin.
Aku bukan muslimah yang baik. Hal itu terlacak dari salat di
akhir waktu, belum jatuh hati pada zikir dalam durasi lama, belum betah berdoa
sekhusyuk setan merengek pada Tuhan, belum bisa menyegerakan mandi, kerap
merepotkan suami ketika ada tugas membuat makalah, hobi mengecewakan dosen
dengan menunda-nunda presentasi tugas kuliah. Iya mahasiswi pasca sarjana yang
payah. Doaku, insya Allah aku makhluk terakhir yang paling negatif (versiku,
versi Tuhan mana ada ciptaan yang sia-sia) yang diciptakanNya.
Meski begitu, masih mendamba hal-hal baik terjadi secara
ajaib dalam kehidupanku. Seperti paragraf pertama di atas. Mensucikan
perlengkapan bayi diiringi salawat. Mengapa salawat? 14 Januari 2014 tanggal
merah, memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Tiba-tiba saja hatiku mengharu,
mengingat sosok penyayang yang dikisahkan ustad-ustad panggung.
“Allah, mohon beri petunjuk pada kaumku. Sungguh, mereka
tidak mengetahui agama apa yang kubawa ini.” Menurut riwayat, kalimat itu
terlantun oleh sang nabi saat malaikat gunung geregetan menyaksikan tingkah
polah penduduk Thaif yang melemparinya batu hingga berdarah-darah. Malaikat itu
menawarkan diri untuk jadi media pengutuk bagi penduduk Thaif, dengan cara
menghancurkan diri, supaya penduduk Thaif melebur bersamanya. Gila. Gila. Gila.
Coba saat itu aku ditakdirkan menjadi istri sang nabi, aku akan merayu, merajuk,
melakukan bermacam cara untuk mengiyakan tawaran malaikat gunung. “Insya Allah,
anakku mewarisi kelembutan hatinya.” Batin terdalamku ngiler sengiler-ngilernya
melangitkan doa itu.
“Muhammad gila, jangan dekati dia.” Konon cercaan ini keluar
dari mulut Yahudi tua dan buta yang tiap hari disuapi sang nabi, dan sang nabi
yang digilakan menjadi lawan bicaranya sendiri. Tak lama kemudian sang nabi
mangkat, Abu Bakar yang menggantikan tugas itu. Rupanya Yahudi tua dan buta
mengetahui sosok baru yang menyuapinya dan menanyakan keberadaan penyuap
sebelumnya. “Ia wafat, orang yang kau gila-gilakan. Muhammad.” Ujar Abu Bakar. Seketika
Yahudi tua dan buta mengucap kalimat syahadat, betapa secara tiba-tiba ia membangun
cinta atas akhlak sang nabi. Lagi, mengucek pakaian anakku dgn melambungkan
harapan, insya Allah anakku penyayang dan berhati besar.
Dahulu, sebelum sang nabi pindah ke Thaif dan Madinah, entah
apa yang ada di benaknya, laki-laki berumur 40 tahun itu. Usia kematangan
seseorang. Istrinya perempuan terhormat lagi mendapat julukan al-Thahirah,
perempuan suci. Hidup berkecukupan. Bertaburan kasih sayang, yang bersumber
dari dirinya sendiri atau istri al-Thahirahnya itu. Sedikit meraba, ia masih
merasakan gejolak jiwa yang menggalaukan hati dan pikirnya. Mungkin. Hingga ia
mengasingkan diri menuju gua dan mendapat pelukan dari makhluk terdekat Tuhan
yang menampakkan diri dgn wujud aslinya. Sang nabi sempat limbung, khawatir
yang mendatanginya adalah makhluk jahat yang menjadi kawan karib dukun-dukun
Arab pada umumnya, hingga dukun-dukun itu mampu membunyikan syair-syair
terkemuka.
“Mas, kamu penyayang anak yatim dan hatimu telah kau gadaikan
pada fakir miskin. Mana mungkin yang mendatangimu adalah setan. Ia utusan
Tuhan, mas. Percayalah.” Kalimat menenangkan dari al-Thahirah untuk hati
kekasihnya. Untuk ke sekian kali, aku merapalkan doa insya Allah anakku
mendapat karunia hati yang bersih dan akal yang jernih, yang mana keduanya
modal untuk mengenal diri dan Tuhannya. Untuk diteruskan pada pengabdian
sosialnya.
Tuhan Mahabaik, Menambah nikmat-nikmatNya bagi hamba-hambaNya
yang pandai mengucap dan mengakhlakkan rasa syukur pd hidup mereka. Lebih-lebih
padaku, perempuan yang mampu mempersembahkan keburukan dan kesedihan sebagai
tumbal kehambaanNya. Untuk meraih karunia-karunia lain berupa pasangan dan anak
keturunan yang mampu menjadi penyejuk batinku.
Allahumma salli ‘alaa Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar