Kamis, 16 Januari 2014

Sungsang? Yes.

Harusnya aku sekarang meneliti kevaliditasan tiga ekor hadis, untuk kemudian kuketik sebagai tugas UAS yang wajib diserahkan besok siang. Tapi aku lebih memilih menulis curhatan ini, sebagai media penenang untuk batinku dan mengobrol dengan anakku, di perutku. Semoga saat kuceritakan nanti dosenku memaklumi keadaan batinku malam ini, apa yang melatarbelakangi tidak selesainya tugas UASku.

Jelang maghrib tadi, aku konsultasi kandunganku, usianya udah 34 pekan. RSB Permata Sarana Husada menjadi pilihanku atas rekomendasi dari kawan suamiku yang puas dgn layanan di RSB itu. Di hadapanku ada perempuan berwajah tegar, tenang dan nampak sekali sifat mengayominya. Perempuan itu berbalut jilbab bergo hijau, dr. Mela Amalia Dewi. Sp. OG. Entah perawat, entah bidan yang mengoleskan gel ke perutku, untuk diperiksa apa kabarnya anakku.

“Air ketubannya nyaris kurang ya. Perbanyak air minum. Kepalanya sungsang, kelilit tali pusar. Sering-sering sujud dan mengajak ngobrol bayi ya.” Dr. Amalia menyampaikan pengamatannya, pandangannya tetap pada monitor gambar anakku.

“Dok, saya nggak perlu cemas berlebihan kan mendengar kabar sungsangnya anak saya?” Balasku, menunjukkan mental ketakutan dan kekhawatiranku. Ya, begitulah psikologi berbicara. Bila ada yang mengatakan kalau dia baik-baik saja, berarti dia belajar untuk membuat dirinya baik. Bila sering up date status di jejaring sosial menuliskan semangat, artinya ia sedang menggalaukan suatu hal atau ia sedang membangun semangat. Belum tentu ia semangat. Sebagaimana aku, kalimat “Nggak perlu cemas” berarti aku sedang cemas.

“Kenapa kamu takut? Kita masih memiliki waktu dua pekan ke depan. Kamu sering-sering ajak bayimu bicara dan perbanyak sujud ya.” Ucap dr. Amalia, kami beradu pandang. Dilanjutkan nasehatnya supaya aku memperbanyak makan buah dlsb. Aku merasa senang konsultasi dgnnya, ia memanggil namaku, tanpa ibu atau nyonya. Kupikir itu sebuah keakraban. Dr. Amalia masih relatif muda, kira-kira usianya 40 tahun ke bawah atau 35 tahun ke atas. Lalu aku menanyakan bila jelang persalinan kepala anakku masih sungsang, apa masih mampu melahirkan secara normal. Ia tidak menyarankan, karena anak pertama.

Di RSB itu emosiku masih stabil. Aku masih menyempatkan senyum dengan kasir, pegawai Farmasi dan tukang parkir. Vablu (Vario biru) kuarahkan ke salah satu Apotik murah di Pamulang, lupa nama apotiknya. Memesan obat, masih senyum pada petugasnya. Selesai, bayar dan galau. Duduk sebentar di kursi, terlintas memberi kabar suami. Tadinya ingin menceritakan pas di rumah, supaya ia tidak khawatir. BBM terkirim padanya, lalu aku menuju parkir melangkah pulang. Detik itu galauku menjadi-jadi. Tak tentu arah mana yang hendak kutuju. Pulang, ke yayasan teman lalu mengajaknya menghadiri kuliah umum dan menonton film Haji karya guruku, om Bagus, atau pergi ke perpustakaan untuk merampungkan tugas UAS yg belum selesai.

Pergi ke yayasan teman dan mengajaknya kuliah umum menjadi pilihanku. Aku ingin didoakan om Bagus yang insya Allah bersama istrinya, Sabtu 18 Januari 2014 akan ke tanah para nabi untuk melaksanakan ibadah umrah. Pikiranku masih kalut, tiba-tiba sudah seperempat jam di jalan datang rintik hujan. Kuputar Vablu dan aku mengurungkan keinginanku. Aku mampir ke sate Madura, memesan lalu pulang. Detik itu aku berdoa semoga aku ingat untuk selalu mengajak ngobrol anakku, apapun kegiatanku. “Nak, kita makan sate ya. Semoga sampeyan suka. Nak, kita minum jeruk anget ya.” Kalimat yg kuobrolkan sebelum menulis galauku ini.

Aku tidak bosan-bosan menyampaikan pada siapa saja yang menanyakan kabar anakku. Bahwa ia anak yang baik, tidak pernah menyusahkanku dgn keluar masuk rumah sakit, makanku teratur, tidurku nyenyak. Penderitaanku (kalau itu kategori penderitaan) cuma pegal-pegal di selangkangan kanan sehabis bangun tidur. Kram kaki kiri terhitung tiga kali, terakhir tadi pagi. Beberapa waktu lalu aku memang sempat khawatir mengapa anakku tidak pernah menyusahkan selama kehamilan, sedikit khawatir pas ngeden dan ia mencari jalan keluar nanti tidak mudah. Astaghfirullah.

Aku hampir menangis, atau mungkin sudah, aku lupa. Menangis tidak penting lagi kuperhatikan. Anakku, anakku, anakku sungsang di usia ke 34 pekannya, menjadi fokusku.


“Kasihan sampeyan, nak. Sungsan sampeyan bukan karena pilihan sampeyan. Leher sampeyan terlilit tali pusar. Pasti sampeyan ingin memutari dunia kecil yang ada di perutku kan, nak. Sebagaimana tante dokter tadi bilang, tiap bayi akan menempati posisi yang ia anggap nyaman. Sungsang bisa terjadi karena Rahim seorang ibu kecil, hingga anak tersebut tidak nyaman memosisikan kepalanya di bawah saat usia jelang kelahirannya. Tapi tidak dgn sampeyan, nak. Sampeyan terbatas gerakannya. Aku bersyukur, nak, Allah titipkan sampeyan yang di usia sedini ini telah berjuang. Insya Allah kita berdua upayakan untuk berikhtiar supaya kepala sampeyan di bawah. Aku akan rajin minum air putih, rajin sujud dan sering mengajak sampeyan mengobrol. Semoga dgn ikhtiar kita ini, kepala sampeyan di bawah dgn mudah. Insya Allah kita sama-sama berjuang ya, nak. Ayo kita bekerja sama dgn baik demi melanjutkan fase proses amanah Allah yang mana Allah percaya bahwa sampeyan mampu menjadi khalifahNya dan tentu saja aku, berjuang sebaik-baiknya demi peran ibu. Ayo, nak…” J 

Kira-kira demikian percakapanku dgn anakku. Mohon doanya bagi yang menyempatkan diri untuk membaca catatan ini. Terima kasih yaaa. Allah Sebaik-baik Pemberi balasan atas kebaikan kawan-kawan yang telah mendoakan kami berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar