Kata mbak kesayanganku, "Kalau mendengar kuda meringkik
petanda setan berkelebat. Kicauan burung petanda malaikat menebarkan salam dan
doa." Dua kali mendengar kicauan burung, pukul 3-an dan beberapa menit
lalu, segeralah kutulis kalimat ini sebagai pengingat.
Manusia berthawaf dalam sebuah siklus yang sama sebenarnya. Lahir,
berkembang secara fisik dan jiwa hingga tiba pada citra diri kekanak-kanakkan
atau dewasa, berpasangan, memiliki keturunan, menua lalu mati. Tentu aku tidak
akan menamai teori apa yang kugunakan untuk mengemukakan pendapat itu. Karena
memang aku tidak tahu, sekedar mengamati.
Dari semalam aku resah, sepertinya menginginkan menikah (astaga,
astaga aku curhat). Mengingat kembali perjalananku dengan laki-laki yang pernah
terlibat secara emosi denganku. Lebih dari sepuluh sepertinya. Dari sekian
laki-laki itu, membawa pada kesimpulan yang sama; laki-laki sangat berpotensi
membelah-belah ruang di hatinya untuk beberapa perempuan. Mereka bisa mencintai
perempuan lebih dari satu. Aku bukan pelaku atau korban dari perselingkuhan.
Selingkuh terjadi jika kedua belah pihak mengiyakan. Kesimpulan ini kutemukan
pada dua laki-laki beristri yang pernah dekat denganku secara emosi (tidak
melulu cinta yang ingin memiliki loh ya). Untungnya aku tidak terlarut dalam
memainkan hati. Laki-laki cenderung mengikuti logika. Jarang laki-laki yang
berhati patah lama. Ketika ia ditolak, penyembuhannya tidak se-lama perempuan.
Aku membenarkan pendapat, "Laki-laki jatuh cintanya berkali-kali, namun
kualitas perasaannya diragukan. Perempuan jarang jatuh cinta dan sekalinya
jatuh cinta kesetiannya melebihi kecintaan pada dirinya sendiri." Memang
Sang Mahacinta Menginginkan keseimbangan, dari sana tercipta kebutuhan antara
lawan jenis itu.
Pergaulan dengan laki-laki juga mengenalkanku pada bermacam emosi.
Cinta, benci, marah, maaf dlsb. Emosi itu menguat menjadi mental. Misal mental
malas berawal dari marah (gagal melanjutkan hubungan). Merasa diri tak berguna,
hidup sia-sia merupakan lintasan-lintasan emosi selanjutnya. Dan lambat laut
mengenalkan pada sumber cinta; Tuhan. Meski aku tidak paham betul bagaimana
mencintai Sang Mahacinta tsb. Kita skip dulu cinta yang satu ini.
Mencintai sesungguhnya bukan peran yang mudah. Cinta hanya layak
disandang oleh mereka yang siap melayani dan memberikan ketulusan hati pada
objek yang dicinta. Menurut guruku, aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk
mencintai (pada lawan jenis). Iya, aku membenarkan beliau sementara ini. Karena
mencintai sama dengan mawas diri untuk selalu bisa memilah mana nafsu mana
ketulusan. Dan itu merupakan pekerjaan seumur hidup. Iya cinta dan emosi-emosi
lainnya memang membutuhkan pemaknaan dan ketika makna telah menyatu dalam darah
semoga Sang Mahakuasa menitipkan kelemahlembutan hati dan kejernihan pikir
dalam menjalani perputaran hidup.
Cinta juga rawan keliru dalam mengekspresikannya. Inginnya
mencintai objek eh malah mencintai diri sendiri. Misalnya dengan memaksakan
kehendak. Pengamatanku ini sampai pada kesimpulan 'Menyamai dan membebaskan
objek yang dicintai adalah sebenar-benarnya cinta.' sekali lagi butuh waktu
seumur hidup untuk memahami hakikat cinta ini.
Tidak ada pilihan kecuali menyiapkan diri dengan baik, mengikuti
norma lingkungan, memahami kehendak Tuhan lewat ajaran para nabi untuk menerima
karunia berupa cinta. Karena cinta (sebagaimana pemberian kebaikan lainnya)
merupakan hak Tuhan untuk membaginya pada siapa saja yang dikehendakiNya. Tentu
hanya Dia Yang Mahatahu hati siapa yang siap menerima karunia-karuniaNya.
Kicauan burung tadi menyertakan doa semoga Allah menyatukan segera dengan
pasangan jiwaku. Jika ada yang bertanya soal kesiapan hatiku pasti jawabnya, "Belum
siap." Namun kebelum siapan itu akan menemukan jawabannya sendiri sebentar
lagi. Insya Allah. Semoga Allah memberi kesempatan dan mempercayakan pada kita
semua untuk merawat jiwa pasangan kita, menjadikan pasangan jiwa sebagai
sahabat dekat dalam penghambaan padaNya. Dengan jalan keperpasangan ini semoga
menjadi media untuk membenarkan tanda-tanda kekuasaanNya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar