Senin, 07 Januari 2013

Mati, Lahir dan Lahir, Mati

Aku belum tahu ke mana muara ide postingan kali ini. Mengapa pula judul Mati, Lahir dan Lahir Mati menjadi pilihan. Aku tak tahu. Sungguh. Ketidaktahuan tsb merajalela, merembet, menjalar pada pertanyaan-pertanyaan aneh yang kian tidak kupahami. Sebentar-sebentar limbung, kemudian semangat. Selalu seperti itu. Hampir gila rasanya kala sengaja memikirkan semua itu.

Kemarin lusa merupakan waktu tepat untuk murka, seharusnya. Melihat lelaki kecilku berambut gondrong, inisiatif untuk mampir ke salon muncul dari kepala. Dengan diam-diam tentu. Lelaki kecilku ini keras kepala. Anehnya aku merasa tidak semua keluarga menjadi sasaran keras kepalanya. Pada ibunya dan padaku saja ia menunjukkan sisi lain dari sifatnya itu. Menurutku, jika seseorang menunjukkan sisi lain dari dirinya pada kita, itu menyimpan makna. Bahwa seseorang itu sangat yakin kita bisa memakluminya, atau ia tahu betul bahwa perasaan mendalam kita akan dapat memaklumi kekurangan-kekurangannya, atau cinta kita lebih besar dari marah kita padanya.

CintaNya mendahului MurkaNya. Cinta ibu sepanjang masa. Tuhan merupakan Pecinta teragung yang pernah ada (mengenai cintaNya insya Allah akan segera kuposting). Ibu satu-satunya pecinta tulus dari golongan manusia. Namun tidak menutup kemungkinan ada pahlawan-pahlawan cinta yang tersebar di muka, belakang, samping kanan dan kiri di bumi.

Kemungkinan pahlawan cinta itu adalah aku (uhuk, uhuk, uhuk. Wuek. Sambil batuk ya). Bagaimana tidak? Sebelum pergi ke salon imajinasi ke sana telah kuikhtiarkan. Salon sepi, paling tidak mengantri satu orang saja. Imajinasiku. Allah Menyetujui, tak satu pun makhluk bertengger di salon. Tidak memberitahu lelaki kecilku atas rencanaku, merupakan tak-tik licikku mengingat ia begitu susah untuk menyetujui rambut kesayangannya dipangkas

Aku belum beruntung, lelaki kecilku betul-betul tidak mau berkompromi. Merayu emosiku sendiri adalah suatu keharusan. Pikiran melayang pada tujuan selanjutnya. Bersenang-senang ke Game Zone di salah satu mall yang banyak bertebaran di pinggiran Jakarta. Kalau aku marah pada lelaki kecilku sama saja merusak niat senang-senang yang, telah kuniatkan. Selamat untukku!!! Melunaklah emosiku. Terpujilah diriku. Semoga Allah selalu merahmati nafsu amarahku. Amin.

Murka itu kembali merayu. Saat perabot yang, menurut rizkiku sementara ini, mahal. Gajian bulan pertama aku membelinya. Empat toples warna unyu-unyu. Beberapa saat lalu aku menyempatkan diri salat taubat, Qs. Alu Imran ayat 133-135 menjadi demikian faforit di rakaat pertama dan kedua. Usiaku semakin senja, mau tidak mau ya wajib memikirkan jalan pulang menuju surga yang, asal muasalku. Kita semua imigran toh di dunia ini.

Mengulang hafalan al-Quran tiga tahun lalu. Kupilih meja makan sebagai tempat muraja'ah yang, berada di dapur. Sengaja memang. Mengusir Tikus yang saling berkejaran. Supaya mereka pulang awal dari dapurku. Satu surat selesai. Mata tertuju pada toples paling ngejreng di antara yang lain. "Oh my... Toples mahalkuuuh!!! Mengapa tutupnya jadi berantakan bekas gigitan begituuuuuh???? Tidaaaaak!!!!" Teriakku dalam hati. Hanya itu. Keren kan!

Selanjutnya aku membersihkan kamar tidur, ruang tengah dan dapur. Ada kotoran Tikus tersebar di tiga ruang itu. Di kursi, kompor, rak perkakas. Seketika imajiku terbang ke masa 14 abad silam. Kira-kira perasaan Rasulullah seperti apa ya sewaktu orang Yahudi melempar kotoran unta ke muka beliau? Sama dengan perasaanku pada kotoran Tikus nggak ya? Aku memang tidak pernah akan tahu perasaan Rasulullah saat itu, namun sirah nabawi memberitahu Rasulullah mencari pelempar kotoran itu ketika ia tidak lagi melaksanakan tugasnya. Malah Rasulullah mendoakan, kala beliau tahu si pelempar kotoran sebentar lagi meradang ruhnya.

Haruskah aku mendoakan Tikus? Sudah kumunajatkan saat-saat beberes tadi. "Ya Allah, tolong aku berlindung padamu dari godaan Tikus yang terkutuk. Al-Fatihah, amin." Tak lupa dalam munajat itu kulafalkan semoga Allah mengampuni dosa-dosaku. Barangkali membersihkan kotoran Tikus Allah jadikan sebagai media penebus dosaku yang entah setinggi apa. Aku akan merindukan Tikus-Tikus itu suatu saat nanti, ketika ia tak lagi bercinta dengan sesamanya di dapurku. Aku akan segera MENGUSIR MEREKA! DENGAN MENUTUP AKSES MASUK. TIDAK DENGAN RACUN. Terpujilah niat baikku. Amin.

Aku tidak akan pernah mengetahui cara Allah menguji coba keimanan, keislaman dan keihsananku. Bisa lewat Tikus, pujian, penolakan atau apapun. Semakin aku memikirkan ujian itu, semakin tipis rasa percaya diriku. Tak peduli mau mati lahir, lahir mati dan dibangkitkan kembali. Yang aku tahu dalam proses ketidaktahuanku, semoga Allah memampukanku untuk melihat kebaikan dan keberkahan di dalamnya. Insya Allah tak akan ada lagi 'kenapa' dalam proses perayuan akal dan hatiku untuk memahami tanda-tanda yang Allah sebarkan di sekitarku. Semoga Allah menitipkan suaraNya, pendengaranNya, kakiNya, tanganNya pada perangkat lunak berupa akal dan hati yang Dia amanahkan padaku. Menuju rumah asal di akhirat kelak. Terpujilah aku eh Aku, heheheh. Amin deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar