Maaf. Kalau aku diam, aku hanya tidak tahu harus berbuat apa.
Alis hampir menaut, suara meninggi, mimik seram bukan kutujukan untuk membuatmu
geram atas kebodohanku. tidak sekali lagi. Kau tahu aku padamu? Hanya aku tak
pandai membuktikan perasaanku. Kau minta aku bicara, yang keluar ya
kalimat-kalimat instruksi semua. Padahal di sini, hatiku, sedikit meragu
memikirkan isi kepala dan dadaku.
Meragukanmu tidak. Hanya mengingat badanmu yang terluka, jiwamu yang memar. Kusempatkan
memahami keadaanmu. Ada yang mendidih di ruang hatiku. Kok bisa kau selemah
itu? Padahal kau yang lebih dulu tahu cara menghadapi masa lalu, sekarang dan
yang akan datang. Lengkap dengan keikhlasan di dalamnya. Begitu jahatnya kah
kehidupan hingga membuatmu sedemikian terluka? Jahat lengkap dengan orang-orang
yang di dalamnya. Tadinya kupikir aku pelindung sekaligus orang yang dapat kau
andalkan dalam risalah yang menjadi tanggung jawabmu untuk kau sebarluaskan. Rupanya
aku salah. Akulah yang justru membutuhkanmu. Tanpamu aku ini apa? Debu bahkan
lebih elok. Ia berguna, menjadi alasan pemilik rumah untuk membersihkannya. Sedang
aku? Masih mencari bertrilyun-trilyun alasan untuk tak sekedar bertahan di
pusaran kehidupan. Pencarian pada titik kemanfaatan.
Pelan-pelan aku memahamimu. Bukan keputusan yang mudah untuk
berhenti sejenak dari bangku kuliahmu. Pergi dari yayasan pasti sempat mengiris-iris batinmu kan? Penyakit yang Allah amanahkan padamu
entah siapa yang harus belajar mengambil hikmah darinya. Kau, calon suamimu atau
keluargamu? Jangan-jangan aku. Dzat yang dipanggil Tuhan itu ingin mengajarkan
padaku, padamu, pada calon suamimu, pada keluargamu... Kalau hanya Dia Maha
Penentu. Tak seorang pun dapat mempertanyakan kebijakanNya yang sekilas
kelihatan tak bijak. Kekhawatiran itu lama-lama menepis tipis, kupaksakan
meringis. Bagiku, sakitmu itu tidak akan pernah usai untuk kujelaskan. Diam,
mendoakan kesehatan batin dan fisikmu begitu kuidamkan
Kau ingat si Jamila, gadis gendut yang ayu itu? Adik lelakinya
kecelakaan. Jari manis dan tengahnya terenggut. Jamila begitu kelabakan, persis
cacing kepanasan. Aku sedikit heran, adiknya yang kecelakaan mengapa ia yang
hilang kesadaran? Sempat ia memaki Tuhan yang menunda kesenangan nasibnya,
katanya. Aku tenang-tenang saja menghadapinya. Mau ikut kalut, khawatir ia
merengut dan berakhir menjadi-jadi kebenciannya terhadap Tuhan. Kuingatkan bagaimana
salatnya, kepatuhannya terhadap ajaran al-Qur’an. Ia jawab, “Jarang aku
merambah al-Qur’an, kak.” Aku jadi memiliki alasan untuk mengingatkan
kehambaannya pada Tuhan. Kukatakan lagi padanya. “Berhenti untuk menghijaukan atau
menghanguskan rumput tetangga, dinda.”
Begini. Ketika melihat seseorang yang kita anggap hebat,
sebenar-benarnya hebat bukan pura-pura hebat aku berani bertaruh ia tidak akan pernah
merasa jika dirinya hebat. Kerendahan hati yang akan ditonjolkannya. Juga, orang
yang kita anggap rapuh serapuh-rapuhnya seolah tak ada celah untuk berlabuh
bahkan si rapuh itu juga menganggapnya demikian, boleh jadi kekuatan Tuhan akan
dengan mudah bersemayam dalam dirinya. Sudah banyak contohnya atas thesisku
ini. Banyak orang yang hanya hidup di alam batinnya tanpa mengkomunikasikannya
dengan dunia luar. Aku salah satu dari mereka yang, acapkali tergoda hidup dalam dunia anggapan. Semoga aku, kau, sahabat-sahabat kita dapat belajar dari semua situasi dan keadaan. Kau bisa memahami apa yang kupikirkan ini? Sampai kemarin
Jamila baik-baik saja, masih hobi tiduran di karpet meski sofa coklat melambai
padanya. Semalam ia menjamu tamu, menggorengkan telor dadar. Syukurlah, ada jiwa
kepedulian dalam dirinya yang lambat laun akan membesar menjadi sebuah
pehamanan akan takdir Tuhan
Si Yuni masih sama. Moody masih menempati jiwanya. Namun tak
separah dulu. Belakangan ini ia banyak diam dan mengalahnya. Adikmu yang
kelimpungan memahaminya. Lalu kusampaikan pada adikmu jangan pernah bermimpi
memahami Yuni secara utuh, kalau tidak ingin pikiran dan hatinya melepuh. Aku tidak
pernah mengkhawatirkan Yuni secara berlebihan. Yuni telah melalui beragam
takdir pahit dalam hidupnya. Tidak ada tempat berlari untuknya kecuali pada
rengkuhan Tuhan. Uniknya ia telah membuktikan dari perilakunya yang sudah
semakin baik. Dari cara ia menjaga kebersihan yayasan, tanggung jawab itu mulai
muncul. Membaur sudah dilakukannya terhadap tamu baru. Ia lihai menggantikan posisi
sementaramu. Telah tertanam dalam hatinya risalah-risalah yang kita pelajari
bersama. Bagaimana aku meragukan ketangguhan Yuni melihat itu semua? Tidak ada
keraguan sedikitpun ia akan membabi buta lari dari kehambaannya. Kalau toh ia
gila, ya begitu caranya bermesraan dengan Tuhan. Kalau ia mati, ya memang sudah
selesai tugas kehambaannya. Tinggal konsekuensi perilakunya yang akan ia
pertanggung jawabkan kelak. Kau bisa mengerti maksud pasrahku kali ini?
Banyak sekali yang tak kupahami di dunia ini. Dari sana aku
belajar memaklumi dan menyerahkan sesuatu yang tidak menjadi urusanku pada
Tuhan. Selesai. Semoga kesehatan jiwa dan badanmu makin membaik ya, amin. Sampai
di sini dulu ceritaku tentang yayasan yang kita cintai dengan diam-diam dan
kita ekspresikan perasaan itu melalui perbuatan. Jaga diri baik-baik ya. Love you.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar