Jumat, 25 Januari 2013

Jalan Kembali


Syahdan. Seorang laki-laki mendatangi majlis Rasulullah saw. Ia berkata, “Duhai, kekasih Allah… Aku bertanya pada Anda. Apakah Allah akan mengampuniku?” Dari bau pertanyaannya, ia mengalami kejadian yang tidak biasa. “O tentu, pak. Allah itu Maha Pengampun.” Rasulullah menangkap kegelisahan pemuda itu. “Aku khawatir Allah tak Mengampuniku.” Lanjut laki-laki itu dengan wajah tertunduk. “Ketahuilah, pak, ampunan Allah melebihi apapun di dunia ini.” Rasulullah masih tersenyum mengamati wajah merunduk itu. “Tidak. Dosaku melebihi apapun yang ada di dunia.” Suara laki-laki itu mengecil, lirih tak bertenaga. Seperti wajahnya yang tak lagi memiliki cahaya harapan. Rasulullah terdiam, sementara para sahabat Nampak geram mendengar pengakuan laki-laki itu. Dosa macam apa gerangan yang lebih besar dari ampunan Allah.

Laki-laki itu menarik diri dari kerumunan. Ia sudah tak peduli lagi dengan anggapan orang. Juga, pikirannya melayang-layang tak karuan. Memang ada penyesalan luar biasa di benaknya. Pikirnya, ia tak pantas menerima ampunan atas apa yang telah dilakukannya. Rasulullah mengikuti laki-laki itu dari belakang. Khawatir terjadi keputusasaan yang berujung pada penganiayaan diri. Rupanya laki-laki itu memasuki gua. Rasulullah masih menanti tindakan apa yang hendak dilakukan laki-laki itu berikutnya. Laki-laki itu mengikatkan diri pada sebuah tali. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin ia ingin mengakhiri hidupnya.

“Bapak kenapa sih ya?” Rasulullah mendekat. Wajah teduhnya menjadi penerang gua itu. Sementara yang ditanya gemetar tak tahu menjawab apa. Pelan tapi pasti Rasulullah melepas tali yang melilit si laki-laki. “Tolong, pak, cerita apa kegundahan bapak. Aku ini diutus untuk menebar kedamaian, menghantar pemaafan. Bukan mencipta kehororan, menghembus kekhawatiran, membesarkan keputusasaan.”

“Begini, Rasulullah. Aku naksir berat sama perempuan. Semasa hidup aku tidak berhasil mendekatinya. Kemarin perempuan itu wafat. Kugali kuburnya. Kuzinai dia. Setelah puas, kubiarkan ia begitu saja.”

“Lalu...” Ia melanjutkan kalimatnya, “beberapa langkah aku meninggalkan mayat perempuan itu, aku mendengar tangisan dan sesalan.”

“Dosa apa aku ini, mas, hingga mas tega melakukannya padaku."
“Rasul, perkataan mayat perempuan itu menyayat. Aku tak peduli lagi dengan laknat. Namun kesakitan mayat perempuan itu… Dengan apa aku menghiburnya, ya Rasululllah?”

Ini bukan soal perang, jalan akhir dari sebuah kesepakatan. Tidak membutuhkan kekerasan untuk memberikan pemahaman. Laki-laki itu beruntung, mendapat nasehat langsung dari sebaik-baik ciptaan.

“Allah itu Jatuh Cinta pada orang-orang yang menyesali perbuatannya. Allah lebih Girang dari seorang musafir padang pasir yang tertidur kelelahan lalu ketika bangun ia tidak mendapati lagi bekal dan kudanya. Padahal ia baru sedikit menempuh perjalanan. Tak ada lagi yang dapat menolong musafir itu.  Ia mencari ke sana- kemari namun nol. Bekal dan kuda itu seolah di telan bumi. Penat, dahaga menyerang si musafir. Ia kembali tertidur. Ketika terbangun ia mendapati bekal dan kudanya telah di sampingnya. Kontan ia berucap, “Allah, Engkau hambaku dan aku tuhanMu.” Saking girangnya musafir itu salah berucap, pak. Itulah perumpaan taubat. Allah lebih Menyukai hambaNya kembali padaNya daripada kegirangan musafir tsb sebab kembalinya bekal dan kudanya.
***

Kisah kedua. Kali ini lebih ekstrim dari badai salju sekalipun. Alkisah. Seorang bapak-bapak mendatangi kiai dan menyampaikan pengakuan dosa,

“Pak Kiai, apa masih ada kesempatan untukku kembali? Aku telah membunuh 99 orang. Berzina, merampok sudah biasa. Gimana menurut Kiai?”

“Pak, kau berdosa besar. Tidak ada tempat kembali untuk…” Sang Kiai belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pedang bapak-bapak itu sudah menembus lehernya. Genaplah 100 orang yang ia bunuh. Memang, ia bukan orang yang penuh basa-basi. Membunuh baginya sudah menjadi profesi. Saat ini visinya hanya satu. Meminta nasehat bagaimana cara meminta ampunan Allah. Ia mendengar ada seorang kiai bijak nan jauh di sana. Kiai itu didaulat dapat menyelesaikan segala jenis persoalan dengan baik. Bapak-bapak itu menemui dan mencari sang kiai. Di tengah perjalanan tiba-tiba ia wafat. Kontan malaikat penjaga neraka merebut jasadnya untuk diberi ganjaran. Tidak berhenti di situ. Terjadi perebutan antar malaikat. Rupanya malaikat penjaga surga juga memiliki misi yang sama. Merebut bapak-bapak itu. Jalan buntu. Tidak ada kesepakatan. Lalu datanglah malaikat hakim, ia berdalih,

“Coba mari kita ukur langkah kaki bapak ini. Kalau jaraknya lebih dekat pada kiai yang dituju daripada kiai yang dibunuhnya berarti malaikat penjaga surga berhak membawanya. Namun jika sebaliknya, malaikat penjaga neraka yang memenangkannya.” Mengukur jarak dimulai, akhirnya bapak-bapak itu lebih dekat jaraknya pada kiai yang dituju.

Dear kawan-kawan, aku mendengar dua kisah itu dari Prof. Nasaruddin Umar pada Minggu pagi. Beliau mengisi acara di salah satu stasiun televisi. Semacam acara semi tasawuf gitu, karena yang dibahas persoalan akhlak dan seputarnya. Masing-masing dari kita pasti pernah melakukan kesalahan kecil atau besar. Kita sendiri yang mengetahui jalan mana yang hendak kita pilih untuk kembali.

Sesungguhnya alasan menghadirkan kedua kisah di atas adalah… Aku melakukan sebuah kesalahan. Merasa memiliki jiwa mandiri, kuangkatlah kursi yang lebih besar daripada aku. Kursi itu menimpa hardisk dan penyok. Meja kantor bopel-bopel. Menyesallah aku. Belajar pada dua kisah di atas, insya Allah aku akan memikirkan cara ‘kembali’ atas kesalahanku. Servis atau bahkan mengganti (doakan ya semoga bosku memahami keuanganku. Paling nyicil deh yang bisa aku lakuin). Nggak parah sih, pinggir meja doang yang bopel, toh hardisk itu udah sepekan lalu nggak bisa nyala. Astaga aku mencari alasan lagi, kapan bisa ‘kembali’ kalau gitu. Insya Allah ke depannya aku berangkat ke kantor lebih awal lagi untuk mempelajari apa-apa yang akan memajukan perusahaan ini. Lebih sering lagi menasehati diri semoga menjadi pribadi yang baik hati dan dimudahkan Allah berkomunikasi dan melayani orang lain dengan hati.  Amin dengan hati.

5 komentar:

  1. Alaikumsalam
    Menarik, dan mengasyikkan
    Dan akan lebih menarik lagi jika alurnya tidak sefiksi diatas
    Akan tetapi disertakan pula referensi
    Sebab berbicara Rasulullah pasti ada hadis yang menjelaskan tentang kejadian tersebut
    Dan tentang Kyai atau cerita ke dua, saya juga pernah mendengar dengan versi yang berbeda, versi yang menyebutkan si"penjahat" bertaubat
    Jika berminat mengikuti kajian tashawuf silahkan gabung di Mihrobul Muhibbin berlokasi di Ciputat
    Blognya http://mihrobulmuhibbin.blogspot.com
    Syukron

    BalasHapus
  2. Wa'alaikum slm wr.wb. Sy fiksikan krn sy blum meriksa lgsg hadisny, mas Zaenal Muttaqin. Iya sy udh mengikuti blog Mihrobul Muhibbin kok, kemarin2 sy jg ikut kajian di rumah Abi Sodik yg tiap Sabtu pagi itu. Matur nuwun, mas, nggih...

    BalasHapus
  3. Wa'alaikum slm wr.wb. Sy fiksikan krn sy blum meriksa lgsg hadisny, mas Zaenal Muttaqin. Iya sy udh mengikuti blog Mihrobul Muhibbin kok, kemarin2 sy jg ikut kajian di rumah Abi Sodik yg tiap Sabtu pagi itu. Matur nuwun, mas, nggih...

    BalasHapus
  4. Wa'alaikum slm wr.wb. Sy fiksikan krn sy blum meriksa lgsg hadisny, mas Zaenal Muttaqin. Iya sy udh mengikuti blog Mihrobul Muhibbin kok, kemarin2 sy jg ikut kajian di rumah Abi Sodik yg tiap Sabtu pagi itu. Matur nuwun, mas, nggih...

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus