Syahdan. Seorang laki-laki
mendatangi majlis Rasulullah saw. Ia berkata, “Duhai, kekasih Allah… Aku
bertanya pada Anda. Apakah Allah akan mengampuniku?” Dari bau pertanyaannya, ia
mengalami kejadian yang tidak biasa. “O tentu, pak. Allah itu Maha Pengampun.”
Rasulullah menangkap kegelisahan pemuda itu. “Aku khawatir Allah tak
Mengampuniku.” Lanjut laki-laki itu dengan wajah tertunduk. “Ketahuilah, pak, ampunan
Allah melebihi apapun di dunia ini.” Rasulullah masih tersenyum mengamati wajah
merunduk itu. “Tidak. Dosaku melebihi apapun yang ada di dunia.” Suara
laki-laki itu mengecil, lirih tak bertenaga. Seperti wajahnya yang tak lagi
memiliki cahaya harapan. Rasulullah terdiam, sementara para sahabat Nampak geram
mendengar pengakuan laki-laki itu. Dosa macam apa gerangan yang lebih besar
dari ampunan Allah.
Laki-laki itu menarik diri dari
kerumunan. Ia sudah tak peduli lagi dengan anggapan orang. Juga, pikirannya
melayang-layang tak karuan. Memang ada penyesalan luar biasa di benaknya. Pikirnya,
ia tak pantas menerima ampunan atas apa yang telah dilakukannya. Rasulullah
mengikuti laki-laki itu dari belakang. Khawatir terjadi keputusasaan yang
berujung pada penganiayaan diri. Rupanya laki-laki itu memasuki gua. Rasulullah
masih menanti tindakan apa yang hendak dilakukan laki-laki itu berikutnya. Laki-laki
itu mengikatkan diri pada sebuah tali. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin
ia ingin mengakhiri hidupnya.
“Bapak kenapa sih ya?” Rasulullah
mendekat. Wajah teduhnya menjadi penerang gua itu. Sementara yang ditanya
gemetar tak tahu menjawab apa. Pelan tapi pasti Rasulullah melepas tali yang
melilit si laki-laki. “Tolong, pak, cerita apa kegundahan bapak. Aku ini diutus
untuk menebar kedamaian, menghantar pemaafan. Bukan mencipta kehororan,
menghembus kekhawatiran, membesarkan keputusasaan.”
“Begini, Rasulullah. Aku naksir berat
sama perempuan. Semasa hidup aku tidak berhasil mendekatinya. Kemarin perempuan
itu wafat. Kugali kuburnya. Kuzinai dia. Setelah puas, kubiarkan ia begitu
saja.”
“Lalu...” Ia melanjutkan
kalimatnya, “beberapa langkah aku meninggalkan mayat perempuan itu, aku
mendengar tangisan dan sesalan.”
“Dosa apa aku ini, mas, hingga
mas tega melakukannya padaku."
“Rasul, perkataan mayat perempuan
itu menyayat. Aku tak peduli lagi dengan laknat. Namun kesakitan mayat
perempuan itu… Dengan apa aku menghiburnya, ya Rasululllah?”
Ini bukan soal perang, jalan akhir
dari sebuah kesepakatan. Tidak membutuhkan kekerasan untuk memberikan
pemahaman. Laki-laki itu beruntung, mendapat nasehat langsung dari sebaik-baik
ciptaan.
“Allah itu Jatuh Cinta pada orang-orang yang menyesali perbuatannya.
Allah lebih Girang dari seorang musafir padang pasir yang tertidur kelelahan
lalu ketika bangun ia tidak mendapati lagi bekal dan kudanya. Padahal ia baru
sedikit menempuh perjalanan. Tak ada lagi yang dapat menolong musafir itu. Ia mencari ke sana- kemari namun nol. Bekal dan
kuda itu seolah di telan bumi. Penat, dahaga menyerang si musafir. Ia kembali
tertidur. Ketika terbangun ia mendapati bekal dan kudanya telah di sampingnya. Kontan
ia berucap, “Allah, Engkau hambaku dan aku tuhanMu.” Saking girangnya musafir
itu salah berucap, pak. Itulah perumpaan taubat. Allah lebih Menyukai hambaNya
kembali padaNya daripada kegirangan musafir tsb sebab kembalinya bekal dan
kudanya.
***
Kisah kedua. Kali ini lebih
ekstrim dari badai salju sekalipun. Alkisah. Seorang bapak-bapak mendatangi
kiai dan menyampaikan pengakuan dosa,
“Pak Kiai, apa masih ada
kesempatan untukku kembali? Aku telah membunuh 99 orang. Berzina, merampok
sudah biasa. Gimana menurut Kiai?”
“Pak, kau berdosa besar. Tidak ada
tempat kembali untuk…” Sang Kiai belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pedang
bapak-bapak itu sudah menembus lehernya. Genaplah 100 orang yang ia bunuh. Memang,
ia bukan orang yang penuh basa-basi. Membunuh baginya sudah menjadi profesi. Saat
ini visinya hanya satu. Meminta nasehat bagaimana cara meminta ampunan Allah. Ia
mendengar ada seorang kiai bijak nan jauh di sana. Kiai itu didaulat dapat
menyelesaikan segala jenis persoalan dengan baik. Bapak-bapak itu menemui dan
mencari sang kiai. Di tengah perjalanan tiba-tiba ia wafat. Kontan malaikat penjaga
neraka merebut jasadnya untuk diberi ganjaran. Tidak berhenti di situ. Terjadi perebutan
antar malaikat. Rupanya malaikat penjaga surga juga memiliki misi yang sama. Merebut
bapak-bapak itu. Jalan buntu. Tidak ada kesepakatan. Lalu datanglah malaikat
hakim, ia berdalih,
“Coba mari kita ukur langkah kaki
bapak ini. Kalau jaraknya lebih dekat pada kiai yang dituju daripada kiai yang
dibunuhnya berarti malaikat penjaga surga berhak membawanya. Namun jika
sebaliknya, malaikat penjaga neraka yang memenangkannya.” Mengukur jarak
dimulai, akhirnya bapak-bapak itu lebih dekat jaraknya pada kiai yang dituju.
Dear kawan-kawan, aku mendengar dua kisah itu dari Prof. Nasaruddin Umar pada Minggu pagi. Beliau mengisi acara di salah satu stasiun televisi. Semacam acara semi tasawuf gitu, karena yang dibahas persoalan akhlak dan seputarnya. Masing-masing dari kita pasti pernah melakukan kesalahan kecil atau besar. Kita sendiri yang mengetahui jalan mana yang hendak kita pilih untuk kembali.
Sesungguhnya alasan menghadirkan kedua kisah di atas adalah… Aku melakukan sebuah kesalahan. Merasa memiliki jiwa mandiri, kuangkatlah kursi yang lebih besar daripada aku. Kursi itu menimpa hardisk dan penyok. Meja kantor bopel-bopel. Menyesallah aku. Belajar pada dua kisah di atas, insya Allah aku akan memikirkan cara ‘kembali’ atas kesalahanku. Servis atau bahkan mengganti (doakan ya semoga bosku memahami keuanganku. Paling nyicil deh yang bisa aku lakuin). Nggak parah sih, pinggir meja doang yang bopel, toh hardisk itu udah sepekan lalu nggak bisa nyala. Astaga aku mencari alasan lagi, kapan bisa ‘kembali’ kalau gitu. Insya Allah ke depannya aku berangkat ke kantor lebih awal lagi untuk mempelajari apa-apa yang akan memajukan perusahaan ini. Lebih sering lagi menasehati diri semoga menjadi pribadi yang baik hati dan dimudahkan Allah berkomunikasi dan melayani orang lain dengan hati. Amin dengan hati.
Sesungguhnya alasan menghadirkan kedua kisah di atas adalah… Aku melakukan sebuah kesalahan. Merasa memiliki jiwa mandiri, kuangkatlah kursi yang lebih besar daripada aku. Kursi itu menimpa hardisk dan penyok. Meja kantor bopel-bopel. Menyesallah aku. Belajar pada dua kisah di atas, insya Allah aku akan memikirkan cara ‘kembali’ atas kesalahanku. Servis atau bahkan mengganti (doakan ya semoga bosku memahami keuanganku. Paling nyicil deh yang bisa aku lakuin). Nggak parah sih, pinggir meja doang yang bopel, toh hardisk itu udah sepekan lalu nggak bisa nyala. Astaga aku mencari alasan lagi, kapan bisa ‘kembali’ kalau gitu. Insya Allah ke depannya aku berangkat ke kantor lebih awal lagi untuk mempelajari apa-apa yang akan memajukan perusahaan ini. Lebih sering lagi menasehati diri semoga menjadi pribadi yang baik hati dan dimudahkan Allah berkomunikasi dan melayani orang lain dengan hati. Amin dengan hati.
Alaikumsalam
BalasHapusMenarik, dan mengasyikkan
Dan akan lebih menarik lagi jika alurnya tidak sefiksi diatas
Akan tetapi disertakan pula referensi
Sebab berbicara Rasulullah pasti ada hadis yang menjelaskan tentang kejadian tersebut
Dan tentang Kyai atau cerita ke dua, saya juga pernah mendengar dengan versi yang berbeda, versi yang menyebutkan si"penjahat" bertaubat
Jika berminat mengikuti kajian tashawuf silahkan gabung di Mihrobul Muhibbin berlokasi di Ciputat
Blognya http://mihrobulmuhibbin.blogspot.com
Syukron
Wa'alaikum slm wr.wb. Sy fiksikan krn sy blum meriksa lgsg hadisny, mas Zaenal Muttaqin. Iya sy udh mengikuti blog Mihrobul Muhibbin kok, kemarin2 sy jg ikut kajian di rumah Abi Sodik yg tiap Sabtu pagi itu. Matur nuwun, mas, nggih...
BalasHapusWa'alaikum slm wr.wb. Sy fiksikan krn sy blum meriksa lgsg hadisny, mas Zaenal Muttaqin. Iya sy udh mengikuti blog Mihrobul Muhibbin kok, kemarin2 sy jg ikut kajian di rumah Abi Sodik yg tiap Sabtu pagi itu. Matur nuwun, mas, nggih...
BalasHapusWa'alaikum slm wr.wb. Sy fiksikan krn sy blum meriksa lgsg hadisny, mas Zaenal Muttaqin. Iya sy udh mengikuti blog Mihrobul Muhibbin kok, kemarin2 sy jg ikut kajian di rumah Abi Sodik yg tiap Sabtu pagi itu. Matur nuwun, mas, nggih...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus